JAKARTA, KORANLINGGAUPOS.ID - Setidaknya sekitar 60-70 persen alasan orang Indonesia memilih tindakan lasik adalah karena ingin mendaftar masuk sekolah kedinasan.
Sementara itu, untuk kebutuhan gaya hidup atau kenyamanan aktivitas sehari-hari masih sekitar 40 persen.
"Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara yang lebih maju," demikian kata dokter spesialis mata dari Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, dr. Andrew M. Knoch, Sp.M.(K.), M.Kes dikutif dari MEDIAKOM.KEMENKES.GO.ID, Sabtu 20 Januari 2024.
Lasik atau laser-assisted in situ keratomileusis adalah tindakan operasi untuk mengubah bentuk selaput bening mata dengan mengikisnya dengan menggunakan bantuan sinar laser. Dengan begitu, kemampuan kornea atau selaput bening dalam merefraksikan sinar menjadi berubah dan mengurangi kondisi minus, plus, atau silindris.
Umumnya lasik dilakukan kepada pasien yang ingin membebaskan dirinya dari ketergantungan alat bantu seperti kacamata atau lensa kontak. Selain itu, alasan yang paling sering disampaikan adalah bahwa pasien ingin mendaftarkan dirinya ke sekolah kedinasan atau mendaftar pekerjaan dengan syarat tertentu.
BACA JUGA:Wajib Tahu 6 Jenis Skincare Untuk Wanita Umur 40 Tahun
Andrew menjelaskan bahwa saat orang melihat suatu objek, sinar dari objek itu harus masuk ke mata dan fokus di retina dengan melalui beberapa jaringan.
Terdapat dua jaringan utama yang dilewati oleh sinar, yaitu kornea atau selaput bening yang terletak di bagian paling depan mata dan lensa mata yang ada di dalam. Selain diteruskan, sinar itu juga akan mengalami pembiasan atau direfraksikan.
Pada orang normal, sinar akan dibelokkan dan fokusnya jatuh tepat di retina, sedangkan bagi orang dengan kelainan refraksi, fokus sinar jatuh di depan atau belakang retina. Inilah yang disebut rabun dekat, yaitu sinar yang difokuskan jatuh di depan retina, atau rabun jauh, yaitu sinar yang difokuskan jatuh di belakang retina.
Faktor penyebab kelainan refraksi ini bermacam-macam. “Tapi, faktor yang paling utama adalah genetik. Pada fisik kita itu ada materi genetis dari orang tua, termasuk bentuk mata, yang berpengaruh terhadap status refraksi mata,” kata Andrew dalam Talkshow Keluarga Sehat di Radio Kesehatan.
BACA JUGA:4 Tips Perawatan Rambut Untuk Hijabers, Gampang dan Tetap Wangi
Pada umumnya, kata Andrew, bentuk mata orang yang rabun jauh, yang dikoreksi dengan lensa minus, lebih panjang dari ukuran orang normal.
Sebaliknya, orang yang rabun dekat, yang dikoreksi dengan lensa plus, sumbu bola matanya biasanya lebih pendek dari kondisi normal.
Faktor lain dari kelainan refraksi yang mencuat belakangan ini adalah ketika di masa pandemi COVID-19, semua aktivitas masyarakat banyak terpapar dengan layar, baik itu komputer, laptop, telepon genggam, dan tablet. Saat ini, screen time atau masa paparan layar memang sulit dipisahkan dari kegiatan sehari-hari.
Untuk itu, Andrew menganjurkan rumus 20:20:20, yakni setiap 20 menit melihat layar, seseorang sebaiknya beristirahat dengan cara mengalihkan pandangan ke objek yang jauh minimal 20 kaki atau enam meter selama 20 detik. (*)