Disparitas Hukum dalam Poligami Siri, Ketika Anak Menjadi Korban

Disparitas Hukum dalam Poligami Siri, Ketika Anak Menjadi Korban-Ilustrasi-

KORANLINGGAUPOS.ID - Fenomena nikah siri masih banyak terjadi di tengah masyarakat kita.

Salah satu alasan paling umum adalah untuk menjalankan poligami tanpa melalui proses hukum yang sah.

Sayangnya, pilihan nikah siri ini sering berdampak buruk bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut, karena tak jarang mereka kesulitan mendapat pengakuan hukum maupun hak-hak sipil lainnya.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 223 K/Ag/2020.

BACA JUGA: Perempuan Jangan Mau Dinikah Siri, Ulama Lubuk Linggau Ustadz Raji : Sulit Dapat Waris

Dalam kasus tersebut, seorang pria menikah secara siri untuk berpoligami tanpa izin istri pertama dan tanpa pencatatan negara.

Awalnya, Pengadilan Agama Cilacap menolak permohonan pengesahan atau itsbat nikah karena dianggap tidak sesuai dengan PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Namun, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi justru mengabulkan permohonan tersebut.

Alasan utamanya adalah untuk melindungi masa depan anak-anak hasil pernikahan itu.

BACA JUGA:Viral Curhat Nikah Siri di Majelis Taklim Bersama Gus Iqdam, Ini 4 Fakta Nikah Siri di Indonesia

Meskipun prosedur hukum tidak ditempuh, pertimbangan kemaslahatan anak menjadi alasan utama disahkannya pernikahan siri tersebut oleh pengadilan tertinggi.

Di sisi lain, terdapat peraturan yang seharusnya menjadi acuan bagi semua pengadilan, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018.

Dalam surat edaran itu, jelas ditegaskan bahwa pernikahan siri tidak dapat diajukan untuk itsbat nikah, bahkan dengan alasan kepentingan anak sekalipun.

Ini menimbulkan disparitas hukum atau perbedaan putusan antar pengadilan dalam kasus serupa.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan