Upacara Panggih Manten, Tradisi Pernikahan Jawa yang Tetap Lestari di Musi Rawas
Prosesi panggih manten dalam pernikahan adat Jawa yang masih lestari di Kabupaten Musi Rawas - Foto : Mukmin / Harian Pagi Linggau Pos-
MUSI RAWAS, KORANLINGGAUPOS.ID – Kabupaten Musi Rawas dikenal sebagai salah satu daerah dengan jumlah penduduk bersuku Jawa yang cukup banyak. Tidak heran jika dalam acara pernikahan, masyarakat setempat masih kental mempertahankan tradisi Jawa, terutama upacara panggih manten atau temu manten.
Upacara panggih manten merupakan prosesi sakral yang menjadi simbol pertemuan pertama antara kedua mempelai. Dalam adat Jawa, panggih manten bukan hanya pertemuan dua insan, melainkan juga penyatuan dua keluarga besar. Prosesi ini mengandung doa dan harapan agar rumah tangga yang baru terbentuk diberkahi keselamatan, kebahagiaan, dan keharmonisan.
Selain panggih manten, rangkaian pernikahan adat Jawa di Musi Rawas umumnya juga mencakup siraman (penyucian diri calon pengantin), midodareni (malam sebelum akad nikah yang dipercaya turunnya bidadari memberi berkah), ijab kabul, serta sungkem kepada orang tua sebagai simbol bakti dan penghormatan.
Dikutip dari detik.com, prosesi panggih manten memiliki sejarah panjang sejak zaman Wali Songo. Awalnya, prosesi pernikahan adat Jawa hanya diperbolehkan dilakukan oleh keluarga keraton. Tata cara pernikahan ini sangat kental dengan nuansa Hindu, namun setelah masuknya Islam ke tanah Jawa, terjadi proses akulturasi budaya. Unsur Islam kemudian berpadu dengan tradisi keraton yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta, sehingga membentuk rangkaian adat yang kita kenal hingga sekarang.
BACA JUGA:3 Penyebab Pratama Arhan Gugat Cerai Azizah Salsha Setelah Nikah Singkat
BACA JUGA:Azizah Salsha: Akibat Nikah Muda Jadi Janda Umur 21 Tahun
Penelitian Alfian Rifqi Asikin dalam skripsinya berjudul Tradisi Upacara Panggih dalam Pernikahan Adat Jawa Menurut Perspektif Hukum Islam menjelaskan bahwa prosesi ini memiliki makna mendalam yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Sementara dalam jurnal berjudul Nilai-Nilai Kristiani yang Terkandung dalam Upacara Temu Manten pada Perkawinan Adat Jawa karya Lusiana, Santa Hani Marsela, dan Teresia Noiman Derung, dijelaskan bahwa prosesi temu manten juga menyiratkan nilai universal seperti kasih, penghormatan, dan kebersamaan.
Di Kabupaten Musi Rawas, tradisi temu manten masih kerap dijumpai, terutama di kalangan masyarakat pedesaan. Setiap tahapannya dilaksanakan dengan khidmat, mulai dari balangan suruh (saling melempar daun sirih antar pengantin sebagai simbol saling menghilangkan sifat buruk), wiji dadi (pengantin pria memecahkan telur sebagai simbol tanggung jawab), hingga kacar-kucur (suami menaburkan biji-bijian dan uang logam ke pangkuan istri sebagai lambang nafkah).
Meski zaman semakin modern, masyarakat Jawa di Musi Rawas tetap melestarikan tradisi panggih manten sebagai warisan budaya leluhur. Prosesi ini tidak hanya menjadi bagian dari adat pernikahan, tetapi juga memperkuat identitas budaya serta nilai-nilai kebersamaan yang diwariskan lintas generasi.