KORANLINGGAUPOS.ID – Selepas Idul Fitri, biasanya banyak masyarakat menggelar hajatan. Khususnya akad nikah dan resepsi.
Bahkan, tak sedikit masyarakat terutama orang tua menyarankan putra putrid mereka melangsungkan pernikahan di bulan Syawal. Dengan keyakinan, bahwa bulan Syawal bulan yang baik untuk menikah.
Benarkah demikian?
Dikutip KORANLINGGAUPOS.ID dari laman Kemenag RI dijelaskan, bila ada sebagian orang yang menghindari bulan-bulan tertentu untuk menikah karena menilainya sebagai bulan sial, maka sejatinya fenomena yang sama juga pernah terjadi pada zaman jahiliyah.
Orang-orang jahiliyah meyakini bahwa bulan Syawal adalah pantangan untuk menikah.
BACA JUGA:6 Keutamaan Dzikir Setelah Sholat Yang Wajib Diketahui Umat Islam
Nabi Muhammad SAW justru menampik keyakinan tersebut.
Sebagai bentuk penolakan beliau justru menikahi Sayyidah ‘Aisyah pada bulan Syawal, dan menggaulinya pada bulan Syawal.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam hadits artinya “Dari Aisyah RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku (pertama kali juga, pent) pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau SAW yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?’” (Muttafaq ‘Alaih).
Menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, hadits ini mengandung anjuran untuk menikahkan, menikah, atau berhubungan suami-istri pada bulan Syawal.
Dengan hadits ini pula para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i menegaskan pandangan atas kesunahan hal tersebut.
BACA JUGA:5 Suku Dengan Tradisi Pernikahan Terunik di Indonesia, Nomor 3 Paling Unik
Lebih lanjut, Muhyiddin Syaraf An-Nawawi menyatakan bahwa perkataan Sayyidah Aisyah RA di atas ditujukan untuk menyangkal kemakruhan menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri di bulan Syawal, yang telah menjadi praktik pada masa jahiliyah dan menguasai pikiran sebagian orang awam pada saat itu.
Artinya, “Hadits ini mengandung anjuran untuk menenikahkan, menikah, atau dukhul pada bulan Syawal sebagaimana pendapat yang ditegaskan oleh para ulama dari kalangan kami (madzhab Syafi’i). Mereka berargumen dengan hadits ini, Siti Aisyah RA dengan perkataan ini, bermaksud menyangkal apa telah dipraktikkan pada masa jahiliyah dan apa menguasai alam pikiran sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan Syawal. Padahal ini merupakan kebatilan yang tidak memiliki dasar dan pengaruh pandangan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawal yang diambil dari 'isyalah' dan 'raf?’' (mengangkat),” (Lihat Muhyiddin Syaraf An Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Beirut-Daru Ihya`it Turats Al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz IX, halaman 209).
Berpijak dari penjelasan singkat ini, kita dapat memahami disamping puasa 6 hari di bulan Syawal, ada juga dianjurkan lain pada bulan Syawal yaitu menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri.