Ketiga, hendaknya para santri mengamalkan ilmu yang sudah didapat saat menjalankan masa liburan ditengah-tengah masyarakat.
Diantaranya cara berpakaian, etika bertutur kata yang baik, bersilaturahmi, etika berperilaku/perbuatan atau tindakan yang dilarang, etika berpergian, dan lain-lain.
Ketika para santri berada ditengah masyarakat, pada hakikatnya mereka sedang membawa nama baik pesantren tempat mereka belajar.
Jika seorang santri melakukan hal-hal yang baik dalam pergaulan di masyarakat, berakhlak yang baik, maka orang yang mengenalnya pun akan senang, dan memuji pondok tempat santri tersebut belajar. Sebaliknya, jika seorang santri melakukan hal-hal yang keliru atau hal yang tercela di masyarakat, maka orang akan mencela pondok tempat santri belajar.
BACA JUGA:SD Terpadu Uswatun Hasanah Lubuklinggau Kombinasikan Kurikulum Pengetahuan dan Kepondokan
“Saya ketika ada kesempatan mengisi tausiyah atau bersilaturahmi dengan para santri di pesantren-pesantren, selalu menyampaikan pesan kepada mereka, jika kalian ingin bahagia, maka bahagiakanlah dulu orang lain.
Jika kalian ingin mulia, maka muliakanlah orang lain, khususnya kepada kedua orang tua dan para guru yang sudah memberikan ilmu, dan juga kepada masyarakat,.”ungkap Buya Fikri.
Keempat, Buya berpesan ketika para santri membaur di masyarakat, jangan sampai santri “diwarnai” masyarakat, tapi hendaknya para santri yang “mewarnai” atau memberikan warna kepada masyarakat.
Diwarnai artinya terpengaruh dengan hal-hal yang kurang baik, dan mewarnai artinya para santri mesti menjadi pelopor kebaikan di masyarakat, dengan menerapkan hal-hal yang sudah dijabarkan pada poin satu sampai dengan poin ketiga diatas.(*)