Hilangkan Stigma Buruk Tentang Gangguan Kesehatan Jiwa, Ini Dampaknya
Ada tiga langkah untuk memutus rantai stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang memiliki masalah kesehatan jiwa- Foto : Tangkapan Layar -
KORANLINGGAUPOS.ID- Mengalami gangguan Kesehatan jiwa, selalu mendapat penilaian buruk dari masyarakat. Tak jarang kebanyak keluarga maupun pasien yang memiliki masalah kesehatan jiwa memilih untuk merahasiakannya dari publik.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, stigma mengenai masalah depresi, gangguan kecemasan dan stres, sering kali dikaitkan dengan rendahnya keimanan seseorang. Bahkan karyawan yang berupaya mencari layanan kesehatan jiwa sering dianggap dipandang sudah tidak mampu lagi bekerja.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dampak stigma dan diskriminasi yang dialami orang-orang dengan gangguan kesehatan jiwa justru dapat memperparah kondisi mereka. Stigma dan diskriminasi ini dapat menghambat proses pemulihan serta menimbulkan keengganan untuk mencari bantuan atau perawatan.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Imran Pambudi, MPHM menyampaikan tiga langkah untuk memutus rantai stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang memiliki masalah kesehatan jiwa.
BACA JUGA:Hania Juicy Fibdrink dan Lemon: Minuman Serbuk Kesehatan yang Menyegarkan
BACA JUGA:Susu Jahe Kombinasi Minuman Kesehatan Hangat di Musim Dingin dengan Berbagai Manfaat
“WHO menganjurkan beberapa langkah untuk melawan stigma dan diskriminasi. Langkah ini tertuang dalam ‘World Mental Health Report: Transforming mental health for all’, yang diterbitkan WHO pada 2022,” ujar Imran.
Pertama, strategi edukasi (education strategies) untuk meluruskan mitos dan kesalahpahaman, termasuk di dalamnya kampanye literasi, kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, dan berbagai kegiatan pelatihan dan pembelajaran.
Kedua strategi kontak (contact strategies) untuk mengubah sikap negatif masyarakat umum melalui interaksi dengan orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan jiwa. Strategi ini dapat mencakup kontak sosial langsung, kontak simulasi, kontak video atau online, serta penggunaan layanan dukungan sebaya dalam pengaturan perawatan kesehatan.
“Ketiga berupa strategi aksi (protest strategies), yaitu penolakan terhadap stigma dan diskriminasi secara formal. Contohnya, demo, petisi, boikot, dan kampanye advokasi lainnya,” lanjut Imran.
BACA JUGA:Manfaat Hingga Khaisat Kerang Makanan Laut, Mampu Optimalkan Kesehatan Mental
BACA JUGA:Sekcam Tugumulyo Buka Sosialisasi Kesehatan tentang Penyakit Menular dan ATM
Penelitian tentang dampak ketiga strategi WHO tersebut menunjukkan bahwa bagi sebagian besar kelompok orang, kontak sosial adalah jenis intervensi paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap terkait stigma. Beberapa negara berpenghasilan tinggi telah berhasil mengampanyekan kesadaran publik berskala besar dan strategi berbasis kontak untuk menciptakan perubahan positif terkait kesehatan jiwa.
Di beberapa negara, lanjut Direktur Imran Pambudi, terdapat kampanye nasional yang mengarah pada perubahan positif dalam sikap publik terhadap kesehatan jiwa. Upaya ini juga tercatat dalam laporan WHO.