Memperlakukan Uang Temuan Menurut Islam

Punya pengalaman lihat uang tergeletak di jalan atau tempat umum -Foto : Dok. Rumah Amal-

Artinya, “Sesungguhnya barang temuan (luqathah) ini memiliki lima hukum, yaitu mubah, ketika orang yang menemukan amanah pada waktu itu (saat menemukan barang) dan ia tidak bisa adil dengan amanah pada barang tersebut dalam waktu yang akan datang. Kedua, sunah ketika dia adil pada waktu yang akan datang. Ketiga, wajib ketika dia mengetahui akan tersia-sia barang tersebut jika ia tidak mengambilnya. Keempat, makruh bagi orang fasik. Kelima, haram ketika dia niat khianat.” (Tuhfatul Habib, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M], juz III halaman 274).   

 

Namun, menurut Ibnu Qasim, mengambil barang temuan lebih utama daripada meninggalkannya jika sifat orang yang mengambilnya dapat dipercaya untuk mengurusnya. Saat mengambilnya pun ia tidak wajib menghadirkan saksi, baik mengambil untuk memilikinya maupun sekadar menjaganya.   

 

Apabila ia memutuskan untuk tidak mengambilnya, maka ia pun tidak dibebani tanggung jawab atasnya. (Al-Ghazi, 206).  

 

‘Barang Temuan’ dalam Fiqih Terkait nilai barang yang ditemukan, hukumnya diperinci menjadi dua. Hal ini perlu diketahui sebab akan berdampak pada ketentuan setelahnya. 

Apakah dapat langsung dimiliki atau harus mengumumkannya terlebih dahulu selama satu tahun, kemudian bagi milikinya. 

Detail hukumnya sebagai berikut:    

 

Jika barang temuan adalah sesuatu yang remeh, yaitu sesuatu yang biasanya tidak dicari atau dicemaskan ketika hilang seperti sepotong makanan, sebutir kurma, dan semisalnya, tergantung adat di setiap tempat dan waktu maka penemunya boleh langsung memilikinya tanpa perlu mengumumkannya atau mencari pemiliknya.   

 

Jika barang temuan itu bernilai, yaitu sesuatu yang biasanya dicari ketika hilang, maka penemunya wajib mengumumkannya. 

 

Menurut pendapat yang lebih shahih kewajiban mengumumkan tetap berlaku, baik orang mengambilnya dengan niat hanya untuk menjaga maupun dengan niatan menjaga lalu memilikinya. (Musthafa Al-Khin, dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz VII, halaman 104).    

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan