Ambang batas Parlemen 4 Persen merupakan wewenang pembuat UU
Anggota Komisi II DPR RI Komarudin Watubun: Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan kewenangan institusi pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. -Foto : Tangkap layar disway.id-
JAKARTA, KORANLINGGAUPOS.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas parlemen 4 persen. Anggota Komisi II DPR RI Komarudin Watubun mengaku keberatan terhadap Putusan MK tersebut.
Dikutif dari DISWAY.ID, menurut Komarudin Watubun, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan kewenangan institusi pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
”Gugatan soal ambang batas parlemen itu sebenarnya sudah pernah diajukan dulu, tapi ditolak. Alasannya karena itu wewenang pembuat UU. Tugas MK kan menguji UU dengan UUD 1945, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap konstitusi,” kata Komarudin pada Minggu, 3 Februari 2024.
Diketahui, dalam sidang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Kamis, 29 Februari 2024 siang, MK menyatakan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
BACA JUGA:Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis Curiga Terkait Suara PSI Melambung. Kok Bisa
Karena itu, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk mengubah ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional tersebut.
Meski demikian, MK juga menyatakan, ketentuan ambang batas parlemen yang diatur dalam Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu itu masih konstitusional digunakan pada Pemilu 2024. Ambang batas parlemen 4 persen itu tidak bisa lagi diberlakukan di Pemilu 2029.
Politikus PDIP itu mengaku bingung dengan putusan MK yang kembali berbeda dengan putusan sebelumnya.
Pasalnya, MK sudah berulang kali memutus gugatan serupa dan menyatakan penentuan angka ambang batas parlemen merupakan wewenang pembuat undang-undang.
BACA JUGA:Ketua DPD NasDem Lubuklinggau Siap Menuju Lubuklinggau 1
”Tapi sekarang memang lagi banyak anomali berpikir. Ini sebenarnya tergantung pada kepentingan tertentu, sama seperti batas usia calon presiden dan calon wakil presiden,” pungkasnya. (*)