Jelang Akhir Ramadan 1445 H, ini Waktu dan Amalan Terbaik saat I’tikaf

Orang yang melaksanakan i’tikaf haruslah sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan.-Foto : Dokumen The World of Mas Bagyo-

I’tikaf disyariatkan berdasarkan  Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 187 yang artinya “…maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang   ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.”

BACA JUGA:5 Negara Dengan Durasi Puasa Ramadhan 2024 Paling Lama, Adakah Indonesia?

Selain itu, dalam Hadits riwayat Aisyah ra artinya: “Bahwa Nabi SAW melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]

Lalu kapan waktu terbaik untuk pelaksanaan I’tikaf?

I’tikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadhan. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang waktu pelaksanaan i’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat). 

Al-Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya, sedang menurut al-Malikiyah i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.

Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).

BACA JUGA:Pererat Silaturahmi, PD Muhammadiyah Musi Rawas Gelar Safari Ramadhan

Lantas di mana pelaksanaan I’tikaf?

Di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i’tikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. 

Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). 

Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).

Para  ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan.

BACA JUGA:Pererat Silaturahmi, PD Muhammadiyah Musi Rawas Gelar Safari Ramadhan

Seperti, karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan salat Jum’at, karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya, karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan