KORANLINGGAUPOS.ID - Dalam dialektika filsuf, keindahan adalah hal abstrak namun secara akal, manusia dapat merasakannya.
Kepariwisataan yang identik dengan keindahan maka saat ini menjadi lebih kompleks karena adanya “kewajiban” perputaran uang didalamnya.
Definisi perputaran menuju pada keuntungan yang diperoleh pengelola dan berimbas pada masyarakat banyak.
Perubahan paradigma ini akan menjadi pariwisata sebagai kebiasaan baru yang betul-betul berubah setelah Covid-19.
BACA JUGA:Tambah PAD dari Sektor Pariwisata
BACA JUGA:Dinas Pariwisata Lubuk Linggau Sukses Adakan Sosialisasi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual
Di era Covid-19, kepariwisataan mengalami kehidupan baru dimana harus ada usaha kreatif.
Kepariwisataan mengacu pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaski antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha.
Definisi ini sebetulnya mendukung bahwa pariwisata identik dengan kebutuhan materi yang terus meneurs dilakukan dimana tidak hanya memperoleh keuntungan namun adanya pengembangnan terus menerus.
Kemudian dalam perubahannya, kepariwisataan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang tidak menyentuh hal yang esensial.
BACA JUGA:Peluang Bisnis dan Peluang Kerja Alumni Jurusan Pariwisata Cukup Menggiurkan
Makna kepariwisataan masih tetap dan perubahan hanya terjadi pada kewajiban pengusaha antara lain yang cukup penting adalah memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab; memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan; dan meningkatkan kompetensi tenaga kerjamelalui pelatihan dan pendidikan.
Selaras dengan pemikiran Kaye Chon dan Fei Hao (2024) bahwa kepariwisataan dan teknologi adalah satu kesatuan.
Transformatif teknologi berpotensi untuk membentuk kembali struktur masyarakat, memastikan bahwa perjalanan dan pariwisata bukan sekadar kegiatan rekreasi, tetapi juga sarana untuk dampak sosial, inklusivitas, dan pemberdayaan.