Kedua, dari sisi keterwakilan politisi ‘wajah lama’ dan ‘wajah baru’, dari komposisi 40 kursi DPRD Mura ada 18 (45%) orang wajah baru dan 22 (55%) wajah lama. ‘Pertarungan politisi lama - baru’ ini dimenangkan oleh politisi lama, karena pada Pemilu 2019 hanya ada 16 (40%) politisi lama yang bertahan ke periode selanjutnya.
Sebagai catatan : dari 18 (45%) wajah baru tersebut, ada juga yang merupakan wajah lama karena Supandi dan Suhari (PKS) pernah menjadi anggota DPRD Mura periode sebelumnya.
BACA JUGA:Lanjutkan Cita-Cita dan Amanah, Rica Novlianty Menuju DPRD Sumsel
Artinya, untuk Pemilu 2024, para caleg petahana mampu mempertahankan dominasi dan peluang keterpilihannya dengan mengerahkan sumberdaya secara maksimal. Baik posisi sebagai petahana, jaringan, kekerabatan bahkan logistik.
Ketiga, dalam persfektif gender, berdasarkan data model D hasil kabupaten/kota komposisi laki-laki dan perempuan adalah 33 (82,5%) orang laki-laki dan 7 (17,5%) orang perempuan.
“Belum mencapai kuota minimal ideal sebanyak 30% kuota keterwakilan perempuan, mungkin issue keterwakilan perempuan harus lebih di galakkan dalam program anggota DPRD perempuan,” paparnya.
Diluar itu menarik untuk mencermati bahwa Pemilu 2024, menjadi ‘ajang pembuktian’ Ketua DPD Partai Golkar Mura Firdaus Ceolah sebagai pemenang pemilu - baik kursi maupun suara -, setelah dalam Pemilu 2019 Partai Golkar hanya menjadi pemenang suara.
BACA JUGA:Partai Golkar Pastikan Duduki Kursi Ketua DPRD Musi Rawas
Artinya, kerja kerja politik DPD Partai Golkar harus diapresiasi oleh DPD Provinsi maupun DPP. Bahwa evaluasi terhadap ‘surat mandat’ DPP Partai Golkar kepada Bupati Musi Rawas Ratna Machmud bisa saja dilakukan.
Mengingat ‘kontribusi’ yang bersangkutan dalam kerja-kerja pemenangan Partai Golkar Musi Rawas dalam Pemilu 2024 tidak terlihat maksimal. Mengingat ‘Dwi Loyalitas’ terhadap Partai Golkar, sekaligus juga Partai Nasdem dalam kerja pemenangan pemilu di wilayah Musi Rawas.
Selanjutnya pengamatan secara umum menemukan, bahwa praktek-praktek transaksionalisasi masih berjalan dengan sangat massive. Sehingga, jika tidak dicari solusinya akan ‘mencederai’ essensi dari pemilu dan demokrasi.
“Sudah saatnya, program-pogram pendidikan politik (political education) bagi pemilih, baik oleh penyelenggara, pemerintah maupun lembaga-lembaga lain seperti NGOs dan perguruan tinggi,” jelasnya. (*)