Di sini justru kekurangan nikah sirri yang pada akhirnya merugikan pihak perempuan sendiri di kemudian hari, seperti tidak memiliki buku nikah, tidak ada pengakuan hukum positif, kesulitan mengklaim hak nafkah jika ditinggal suami, kesulitan mengurus administrasi kependudukan, sulit mengklaim hak waris jika sengketa di pengadilan, dan sebagainya.
BACA JUGA:Memanfaatkan Bulan Suci Ramadhan Yang Penuh Berkah SDN 3 Srikaton Melakukan Kegiatan Berbagi
Meski demikian, pernikahan tanpa wali nasab ayah kandung bukan berarti tidak bisa dilangsungkan. Pernikahan masih mungkin dilangsungkan dengan wakil wali atau wali di bawahnya (ab’ad) selama ada taukil atau izin dari wali aqrab-nya. Pasalnya, tidak sembarang pula kakak kandung misalnya atau wali aqrab yang lain menikahkan tanpa seizin ayah kandung yang dalam hal ini orang tua Anda.
Sebab, hak kewalian masih melekat padanya. Ketiadaan atau jarak wali aqrab yang jauh tidak serta merta memindahkan hak wali kepada wali ab’ad. Hal itu sejalan dengan dalil yang menyatakan: Artinya, “Tidak boleh dinikahkan seorang perempuan kecuali seizin walinya,” (HR. Malik).
Wali nasab yang jauh justru beralih kepada wali hakim, bukan kepada wali ab’ad, namun tetap dengan sejumlah persyaratan. Antara lain adalah posisi wali nasab cukup jauh, enggan menikahkan, atau terhalang untuk hadir. Artinya, “Jika wali tidak ada karena jauh sejauh jarak yang membolehkan shalat, maka si perempuan boleh dinikahkan oleh penguasa (wali hakim). Dan wali yang ada di bawahnya tidak berhak menikahkan. Sebab, hak kewalian masih melekat pada wali yang jauh tadi. Karena itu, seandainya wali jauh tersebut menikahkan di tempatnya, maka akadnya sah. Pasalnya, kesulitan dari dari pihaknya, sehingga digantikan posisinya oleh wali hakim, sebagaimana pula jika ia hadir tetapi tercegah untuk menikahkannya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429).
BACA JUGA:BAZNAS Kabupaten Musi Rawas Salurkan 3.500 Paket Sembako Ramadhan Bahagia
Berdasarkan petikan di atas, jika posisi wali jauh dan tidak bisa dihubungi, pernikahan bisa dilangsungkan dengan wali hakim.
Namun, wali hakim yang menikahkan haruslah wali hakim atau na’ib yang sesuai dengan wilayah tugasnya, serta datang atas nama instansi, bukan atas nama sahabat atau saudara.
Jika posisi orang tua dan wali jauh serta masih bisa dihubungi, terlebih di zaman komunikasi canggih seperti sekarang, maka ia masih dimungkinkan menikahkan Anda, seperti menikahkan di tempatnya atau mewakilkan.
Namun tentu langkah terbijak adalah memberi tahu rencana pernikahan kita kepada orang tua, sekaligus memohon izin dan doa restu mereka.
Sebab, sudah barang tentu, salah satu kebahagiaan orang tua adalah menyaksikan pernikahan putra atau putri tercintanya. Lagi pula, cepat atau lambat, pernikahan juga akan diketahui orang tua dan khalayak banyak.
BACA JUGA:MIN 1 Musi Rawas Melaksanakan Kegiatan Pesantren Ramadhan
Daripada memberi tahu di kemudian hari yang beresiko mengundang kecurigaan, tuduhan kurang baik, serta kekecewaan orang tua, lebih baik kita menyampaikannya sedari awal.
Adapun niatan baik ingin menghindari perbuatan dosa besar pada saat bertemu kekasih, tentu merupakan niatan yang sangat bagus dan mulia, namun niatan yang baik juga harus diiringi dengan cara yang baik pula menurut syariat. Sebab, menikah merupakan ibadah yang tidak terlepas dari ketentuan syariat.
Terlebih jarak kita dengan orang tua wali tidak jauh. Maka wali hakim pun tidak bisa langsung menikahkan. Sebab, jarak wali yang tidak jauh sama seperti wali yang hadir, sehingga harus diminta izinnya.
Seperti yang dikemukakan Syekh Abu Ishaq yang artinya: “Jika wali berada di jarak yang tidak membolehkan qashar shalat, maka di sini ada dua pandangan. Pertama wali hakim tidak boleh menikahkan kecuali seizin wali yang haknya. Kedua wali hakim boleh menikahkan karena sulit dimintai izinnya. Ia diserupakan dengan wali yang jauh. Meski demikian, jika wali tidak ada dan hak kewalian beralih kepada wali hakim, maka hakim tetap disunahkan meminta izin kepada wali yang mendapat peralihan hak kewalian, sebelum menikahkannya. Hal itu demi keluar dari perdebatan. Sebab, menurut Abu Hanifah, yang berhak menikahkan adalah wali aqrab yang mendapat peralihan hak kewalian.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429). (*)