LUBUKLINGGAU, KORANLINGGAUPOS.ID – Seseorang yang memiliki dana terbatas, sangat ingin sekali naik haji. Sementara ia masih memiliki tanggungan utang yang harus dilunasi. Bagaimana solusinya?
Dikutip KORANLINGGAUPOS.ID dari laman Kemenag RI, haji merupakan kewajiban bagi umat Islam. Haji bahkan salah satu dari pilar keislaman seorang Muslim atau rukun Islam.
Rasulullah sendiri memandang haji sebagai ibadah mulia yang sangat penting.
Rasulullah dalam sebuah hadits mempersilakan umatnya yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji tetapi tidak melaksanakannya untuk mati sebagai non-Muslim.
BACA JUGA:Kabar Terbaru, Tahun 2024 Tidak Ada Lagi Jemaah Haji yang Ditempatkan di Mina
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang memiliki bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullah dan ia tidak juga berhaji, maka ia boleh pilih mati sebagai Yahudi atau Nasrani. Allah berfirman dalam Al-Quran, ‘Kewajiban manusia dari Allah adalah mengunjungi Ka’bah bagi mereka yang mampu menempuh perjalanan,’’” (HR A-Tirmidzi dan Al-Baihaqi).
Meski demikian, seseorang harus memiliki bekal pulang dan pergi sebagai salah satu persyaratan. Perbekalan pulang dan pergi ini berupa bekal di luar dari kebutuhan untuk melunasi utang yang menjadi tanggungannya.
Hal ini berlaku bagi utang yang harus segera dilunasi atau utang yang tidak harus segera dilunasi sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi berikut ini:
Artinya, “Dalam urusan bekal, disyaratkan biaya yang dapat mencukupi kebutuhan pergi dan pulangnya lebih di luar… kebutuhan untuk membayar utang baik yang harus dibayar tunai maupun yang dapat diangsur,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj pada Hasyiyah Ibni Hajar, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 47).
BACA JUGA:Viral, Penagih Hutang Dianiaya Nasabah Sampai Dilempari Piring, Netizen: Jangan Sampai Mau Damai!
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa seseorang yang memiliki dana terbatas sementara ia juga memiliki utang yang tidak harus segera dilunasi–sebaiknya menggunakan uangnya untuk pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji. Pilihan ini dilakukan dengan alasan bahwa pembayaran utangnya dapat ditunda.
Anggapan seperti ini tidak cukup kuat secara syar’i. Pasalnya, bekal haji adalah uang mati seseorang yang dialokasikan untuk pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji tanpa tanggungan apa pun.
Meski pembayaran utang dapat ditunda, seseorang tetap berkewajiban untuk melunasinya dari aset di luar bekal yang dia miliki.
Artinya, “Tetapi seandainya dikatakan ‘pembayaran utang dapat diangsur’ lalu ada pendapat mengatakan, ‘Bila utang tidak wajib hingga kini sementara kewajiban pelaksanaan haji adalah segera, maka seharusnya seseorang mendahulukan haji daripada pembayaran utang,’ maka dapat ditanggapi bahwa utang adalah murni hak manusia atau ada perkara menakutkan yang sangat kuat sehingga harus ihtiyath. Pasalnya, memerhatikan utang lebih penting sehingga pembayaran utang harus didahulukan dibanding haji meski (kesempatan) haji semakin mepet baginya,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar, Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 47-48).
BACA JUGA:Haji 2024, Menag Yaqut Tinjau Kesiapan dan Sesuaikan Peraturan di Tanah Suci