Sang Konseptor Dan Eksekutor Ulung

Buya Al Misro, Alumni Pondok Pesantren Al Azhaar, Tahun 2011, Ketua Yayasan dan Pimpinan Pondok Pesantren Misro Arafah Kota Lubuklinggau-KORANLINGGAUPOS.ID-Tangkapan Layar

Walaupun kondisinya sangat menyedihkan dan menjengkelkan, dengan ekonomi keluarga yang serba kekurangan, jangankan untuk membeli televisi, untuk makan sehari-hari saja untung masih bisa terpenuhi.

Perjalanan Kyai Mansuri Adam tidak lepas dari tapak tilas sosok Kyai Feri Irawan yang merupakan pimpinan pondok pesantren Mafaza, saat saya duduk dikelas 3 experimen, setera dengan kelas 2 SMA sederajat, karena saya masuk ke pesantren Al-Azhaar pada jenjang SMA.

Sementara sistem pendidikan Al-Azhaar berkiblat kepada TMI Gontor dan Al-Amien, maka santri yang masuk ke Al-Azhaar ditingkat aliyah, diwajibkan untuk menyelesaikan pembelajaran dua kelas dalam satu tahun, sehingga nanti ketika sampai dikelas akhir atau Niha’ie, santri sudah menyelesaikan sistem pembelajaran selama enam tahun.

Begitulah perjuangan berat bagi santri experimen seperti saya, tapi semua itu tidak menyurutkan langkah perjuangan yang harus saya lewati dalam proses pembelajaran dipondok pesantren Al-Azhaar.

Saat posisi saya bertengger dikelas tiga experimen, kepercayaan diri semakin tumbuh dan berkembang, saya diamanahkan Kyai Mansuri Adam untuk menggantikan beliau mengisi tausiah dipesantren Mafaza, dalam rangka acara haflah akbar pesantren tersebut, mengingat beliau tidak bisa hadir, karena ada urusan di Jakarta, sementara jadwal tausiah sudah beliau sanggupi atas permintaan Kyai Feri Irawan.

Sore itu ditengah hiruk pikuk para santri sedang bermain bola kaki, saya dipanggil oleh Kyai kedepan teras rumah beliau, tanpa perolog yang panjang beliau meminta saya untuk menggantikannya mengisi tausiah di pesantren Mafaza, berstatus sebagai santri yang secara notabane baru mengenyam pendidikan pesantren,

diibaratkan bayi yang baru belajar merangka, Kyai Mansuri Adam memaksa saya laksana anak bayi yang sudah dipaksakan untuk bisa berlari.

Dengan mengumpul seluruh energi keberanian, kemudian saya berkata dengan Kyai, bahwa saya tidak punya materi ceramah untuk acara sebesar itu, apa yang akan saya sampaikan dalam acara tersebut, saya takut nanti membuat Kyai menjadi malu, karena kemampuan saya belum bisa untuk menggantikan posisi dari sosok Sang Kyai.

Dengan wajah melas dan meminta dikasihani, saya kembali berucap jangan saya Kyai, dengan tangan berkeringat dingin, laksana petir menyambar tanpa diawali dengan rintikan hujan, laksana gemparan lempengan bumi yang sedang bergeser, teras rumah kyai seakan menjadi angker sore itu, lebih angker dari wajah Muallim Zawawi yang sedang merengek kesakitan ditengah lapangan bola kaki,

karena disleding oleh Rudi sahabat saya yang biasa dipanggil Steven George Gerrard MBE, atau Rudi Gerrard karena kepiawannya dalam mendribling bola seperti pemain bola profesional di liga Inggris, bercampur rasa cemas dan takut untuk melaksanakan tugas yang diamanahkan Kyai Mansuri Adam kepada saya pada sore itu.

Konsep Sami’na wa Ato’na menjadi obat yang paling mujarab dihari itu, diawal kisah tadi sudah saya ceritakan bahwa, seorang santri akan menerima kebenaran tanpa bukti,

apa lagi yang menyampaikan kebenaran itu seorang Kyai, secara fitrah hukum yang mendasari akal dan pikirannya adalah Sami’na wa Ato’na mendenger dan mengikuti,

karena konsep hidup seorang santri yang berakal, tidak pernah disibukkan dengan bukti-bukti untuk memperdalam ilmu yang diajarkan oleh para guru, dengan kata lain maqosid atau tujuan pada proses pembelajaran adalah keberkahan diatas segalanya.

Tidak terlalu banyak perdebatan antara iya atau tidak ?

Kyai Mansuri Adam membuat konsep materi ceramah, untuk saya sampaikan pada acara haflah akbar di pesantren Mafaza, kemudian konsep itu saya kembangkan dalam tiga tahapan, pertama saya menulis fakta-fakta yang sering terjadi dalam kehidupan para santri,

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan