Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar Hadirkan Cermin Sosial Lewat Film, Bukan Sekadar Hiburan

Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar Hadirkan Cermin Sosial Lewat Film, Bukan Sekadar Hiburan-Tangkap Layar -

KORANLINGGAUPOS.ID- Dunia perfilman Indonesia kembali disuguhkan karya sinematik yang berbeda dan mendalam. 

Sutradara visioner Joko Anwar merilis film terbarunya bertajuk “Pengepungan di Bukit Duri”, sebuah karya yang tidak hanya menyajikan cerita, tetapi juga menyentil nurani penontonnya.

Menariknya, naskah film “Pengepungan di Bukit Duri” ini sudah selesai sejak tahun 2007, namun baru tahun ini mendapatkan ruang untuk ditayangkan. 

Sebuah perjalanan panjang yang akhirnya membuahkan film “Pengepungan di Bukit Duri” reflektif dan relevan dengan situasi sosial masa kini.

BACA JUGA:Keunggulan Fujifilm X-S10: Solusi Lengkap untuk Fotografi dan Videografi, Pilihan untuk Content Creator Kreati

Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta dan dikutip KORANLINGGAUPOS.ID dari laman detik.com pada Selasa 15 April 2025, Joko Anwar dengan tegas menyatakan bahwa Pengepungan di Bukit Duri tidak dibuat sebagai film hiburan dalam pengertian umum. 

Sebaliknya, film ini ditujukan untuk menjadi pemantik diskusi.

“Maaf kalau saya bilang filmnya tidak menghibur, tapi gampang untuk diikuti.

Sehingga apa yang coba kita sampaikan, memantik percakapan tadi bisa sampai ke banyak orang,” ujar Joko Anwar.

BACA JUGA:Film Animasi Jumbo Karya Anak Bangsa yang Bikin Bangga, Ini Deretan Pengisi Suara dan Soundtrack-nya

Film ini mengangkat isu-isu penting seperti trauma, kekerasan struktural, dan ketimpangan sosial, yang menurut Joko masih kerap dihindari masyarakat dalam percakapan sehari-hari. 

Ia berharap, lewat medium film, topik-topik ini bisa dijangkau dan dibicarakan lebih luas oleh publik.

Joko Anwar menjelaskan bahwa apa yang digambarkan dalam film bukanlah fiksi belaka, melainkan proyeksi dari realita sosial yang sedang terjadi dan bahkan bisa terulang jika kita tidak melakukan perubahan.

“Kita menganggap diri kita religious, tapi korupsi merajalela. Kita merasa ramah, tapi tidak ramah terhadap perbedaan. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan