Bagaimana Hukum Sunat Bagi Perempuan? Berikut Penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah

Pakar kesehatan reproduksi merinci dampak segera dan jangka panjang, termasuk dampak psikologis yang sering diabaikan dalam praktik sunat bagi perempuan.-Foto : Dokumen Rumah Sunat dr Mahdian-

KORANLINGGAUPOS.ID - Praktik sunat bagi perempuan menjadi sebuah kontroversi dengan pandangan yang beragam di kalangan ulama.

Lalu bagaimana hukum sunat bagi perempuan?

Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah memiliki perspektif terkait isu ini. Majelis Tarjih dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan bukanlah bagian dari tuntunan agama, melainkan tradisi yang tidak didasarkan pada dalil agama yang jelas.

Dikutip KORANLINGGAUPOS.ID dari laman Muhammadiyah.or.id, pandangan ini muncul dari keyakinan bahwa landasan hukum sunat perempuan tidak dapat ditemukan dalam ajaran Islam yang autentik. 

Majelis Tarjih menyoroti perbedaan dengan sunat laki-laki, yang diakui memiliki dasar hukum yang jelas dalam dalil agama. Berbeda dengan sunat laki-laki yang diacu oleh dalil yang eksplisit, tidak ada dalil yang secara spesifik menyebutkan sunat perempuan.

BACA JUGA:Berikut Cara Berhutang dan Cara Menagih Hutang Sesuai Tuntunan Islam

Dengan pertimbangan tiada dalil, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa sunat perempuan tidak boleh dilakukan. 

Keputusan ini didasarkan pada penilaian teliti terhadap manfaat dan madharat (kerugian) yang mungkin timbul dari praktik ini. Muhammadiyah berkomitmen untuk menjaga integritas ajaran Islam dan melindungi perempuan dari praktik yang dianggap tidak didukung oleh nash (teks agama).

Sementara itu, Pakar Kesehatan Reproduksi dan Kader  Aisyiyah Jawa Barat, Dian Indahwati menjelaskan perbedaan yang signifikan antara sunat laki-laki dan perempuan. Menurutnya, sunat laki-laki, atau yang dikenal sebagai sirkumsisi, merupakan tindakan permanen yang melibatkan pengangkatan seluruh bagian preputium yang menutupi kelenjar penis.

Sunat laki-laki tidak hanya dianjurkan sebagai bagian dari tradisi dan ajaran agama, tetapi juga memiliki dasar medis yang kuat. Tindakan ini dianggap efektif dalam menjaga kebersihan organ genital laki-laki. Pengambilan preputium tidak hanya dilakukan karena alasan keagamaan, tetapi juga untuk alasan medis, seperti memperbaiki kondisi kelainan seperti fimosis, di mana preputium tidak dapat ditarik ke belakang.

BACA JUGA:Hukum Menyerobot Tanah dalam Islam

Dian Indahwati menekankan bahwa sunat laki-laki juga dapat dilakukan secara elektif dengan tujuan meningkatkan kebersihan, mencegah penyakit menular seksual, termasuk HIV. Pengambilan preputium, dalam konteks ini, dipandang sebagai langkah preventif yang dapat mengurangi risiko tertentu.

Namun, perempuan memiliki anatomi yang berbeda, dan klitoris pada perempuan tidak berfungsi untuk berkemih sehingga tetap terjaga kebersihannya. Dalam esai ini, Dian Indahwati menyatakan dengan tegas bahwa memotong atau melukai klitoris pada perempuan setara dengan melukai atau memotong penis pada laki-laki. Ini menyoroti pentingnya pemahaman akan sensitivitas organ reproduksi perempuan.

Perlu dicatat bahwa, berbeda dengan sunat laki-laki, sunat pada perempuan tidak dianjurkan oleh pakar kesehatan. Dian Indahwati menyatakan bahwa tindakan ini dapat mengakibatkan masalah pada kesehatan reproduksi perempuan. Dengan demikian, esai ini memberikan sudut pandang yang kuat terhadap pentingnya memahami perbedaan anatomi dan dampak kesehatan dari praktik sunat pada laki-laki dan perempuan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan