Sejarah, Syarat, dan Tata Cara Menunaikan Shalat Qashar
Tata Cara Menunaikan Shalat Qashar--pixabay
LUBUKLINGGAU, KORANLINGGAUPOS – Bagaimana bisa saat dalam perjalanan kita bisa menunaikan shalat 5 waktu dengan baik? Maka, Allah SWT memberikan keringanan pada kita, dengan menunaikan Shalat Qashar.
Memang menempuh perjalanan panjang terkadang tak bisa kita hindari. Terutama untuk menunaikan Ibadah Umrah, Haji, dalam rangka Pendidikan maupun silaturahmi misalnya, dengan hal itu Allah SWT mudahkan dengan menunaikan Shalat Qashar
Berikut Sejarah Shalat Qashar yang dihimpun KORANLINGGAUPOS.ID dari laman NU Online:
Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai shalat qashar. Banyak ulama yang berpendapat bahwa pada hukum asalnya, shalat hanya wajib dilakukan dua rakaat. Tidak ada yang 4 rakaat.
BACA JUGA:Imam Shalat Tiba-tiba Ambruk, Apa yang Sebaiknya Dilakukan Makmum?
Pada perkembangannya, barulah disyariatkan shalat 4 rakaat dalam keadaan tidak bepergian (hadhar). Sedangkan hukum asal shalat hanya 2 rakaat itu ditetapkan pada keadaan perjalanan (safar).
Pendapat ini berdasarkan perkataan Sayyidah Fatimah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
أول ما فرضت الصلاة ركعتين ركعتين، فأقرّت في السفر، وزيدت في الحضر
“Pertama kali shalat diwajibkan adalah 2 rakaat. Kemudian shalat safar ditetapkan (dengan hukum ini), dan shalat hadhar (saat di rumah) ditambah (menjadi 4 rakaat). (Syekh Dr. Wahbah Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatihi, (Beirut, Dar al-Fikr: 2010], juz 5, h. 234).
BACA JUGA: Bolehkah Anak Kecil jadi Imam Shalat? Simak Penjelasan Ulama
Hanya saja, banyak juga ulama lain tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka berpendapat bahwa shalat qashar disyariatkan bersamaan dengan shalat khauf (shalat yang khusus dipraktikkan dalam peperangan) saat peperangan Dzatir Riqa’ pada tahun 4 hijriah. (Syekh Khalil al-Qaththan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 147-148).
Ulama juga berbeda pendapat perihal awal disyariatkannya shalat safar (perjalanan).
Menurut Imam Ibnul Atsir, disyariatkan pada tahun ke-4 dari hijrahnya Nabi.
Menurut Imam ad-Daulabi, disyariatkan pada bulan Rabiul Akhir, tepatnya pada tahun kedua Hijriah. Ada juga yang berpendapat bahwa disyariatkannya shalat safar bertepatan setelah 40 hari dari hijrahnya Nabi. (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ala Syarhil Manhaj, [Bairut, Dar al-Kutub: 1996], juz 3, h. 138).