Atasi Masalah Berkurangnya Lahan dan SDM Pertanian dengan Tehnologi
Jumlah lahan dan sumber daya manusia (SDM) pertanian juga semakin lama semakin berkurang. Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan tersebut dengan menggunakan tehnologi.-Foto: tangkap layar-BRIN
JAKARTA, KORANLINGGAUPOS.ID - Jumlah lahan dan sumber daya manusia (SDM) pertanian juga semakin lama semakin berkurang. Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan tersebut dengan menggunakan tehnologi.
Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marsudi Wahyu Kisworo menyatakan, ketika minat masyarakat untuk menjadi petani semakin berkurang, kita tidak bisa lagi bicara padat karya, namun harus menggunakan teknologi.
Solusi untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan menggunakan inovasi teknologi alat pertanian yang menggunakan tenaga listrik dan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
"Kita boleh saat ini gencar mengembangkan mobil listrik. Tapi para engineer juga bisa membuat alat-alat pertanian yang menggunakan tenaga listrik, misalnya, bagaimana membuat traktor otonom (tanpa awak) dengan bertenaga listrik dari panel surya. Jadi inovasi kita harus diarahkan ke sana (alat pertanian)," ungkap Marsudi, pada Webinar Ruang Pembelajar, Trending Inovasi Pangan dan Energi, yang diselenggarakan Lembaga Pelatihan Kompetensi Teknik dan Manajemen Industri dikutif dari website brin https://www.brin.go.id.
BACA JUGA:Kreatifitas Anak Muda, Ubah Lahan Kosong Tengah Kota jadi Lahan Pertanian
Selain itu, inovasi juga harus mengarah pada smart farming. "Smart farming melibatkan berbagai macam disipiln ilmu, mulai dari IT, elektro, internet of things (IoT), dan sebagainya, untuk pertanian yang lebih cerdas, sehingga semua bisa diautomasikan," jelasnya.
Tren inovasi selanjutnya adalah precision farming, misalnya memanfaatkan drone untuk menyebarkan pupuk dan air, sehingga efisien dan tidak boros. "Teknologi Iot juga diperlukan untuk mendeteksi tanaman, misalnya kapan harus diberikan air, jika cukup, otomatis kerannya ditutup, dan sebagainya," tambah Marsudi.
Bicara soal produksi pertanian, lanjut Marsudi, kunci utamanya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas di hulu, salah satunya dengan melakukan genetic engineering.
Dirinya juga menyinggung soal kondisi ketahanan pangan Indonesia pada 2023. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), komoditas garam, gula, daging ruminansia, bawang putih, dan kedelai masih bergantung impor.
BACA JUGA:5 Cara Menanam Singkong dengan Teknologi Pertanian Terbaru Tingkatkan Hasil Pertanian
"Maka, jika berinovasi, para engineer fokuskan pada komoditas-komoditas itu," papa Marsudi.
Ketika melakukan inovasi teknologi dengan genetic engineering, yaitu bagaimana bibit itu dimodifikasi, sehingga produktivitasnya meningkat. "Misalnya produksi tebu, rata-rata satu hektar hanya menghasilkan 60 hingga 70 ton tebu per hektar. Di India atau Brazil, bisa 140 ton tebu per hektar. Jadi dua kali lipat, sehingga genetic engineering ini diperlukan," tandasnya.
Tidak kalah pentingnya, tutur Marsudi, pada tahap transportasi bahan baku, kita membutuhkan teknologi pascapanen. "Indonesia adalah negara dengan food loss atau pangan yang rusak cukup tinggi, mencapai 30 persen," ungkapnya.
Dikatakan Marsudi, gudang penyimpanan dengan dinding beton, menyebabkan bahan baku pangan seperti beras cepat rusak. "Inovasi controlled atmospheric storage (CAS) merupakan ruang penyimpanan, tapi atmosfernya dikendalikan, sehingga bakteri-bakteri pembusuknya tidak hidup, salah satunya dengan menggunakan ozon. Di luar negeri sudah biasa, tapi di Indonesia belum banyak yang mengembangkan," ulasnya.