Menurut mereka, penampilan partai dan calegnya, tata cara memilih dengan gambar berwarna terkesan atraktif dan membantu untuk menangkap pesan tentang teknis pemilu. Sampel kartu pemilih sebagai atribut pemilu yang menarik perhatian para pemilih pemilu.
Mereka kaget ketika ditampilkan setiap pemilih harus memegang lima kartu pemilihan, yang terdiri dari calon legislatif kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, calon senator (Dewan Perwakilan Daerah), dan calon presiden-wakil presiden.
“Calon DPR, DPD jumlahnya banyak? Bagaimana saya harus memilih satu dari mereka? Apa memilih partainya boleh atau memilih orangnya, atau partai dan orangnya?” tanya peserta sosialisasi.
Sebagian besar peserta tidak membayangkan pemilihan calon DPR dan DPD terdapat zonasi sehingga daftar caleg yang dipilih sesuai daerah pemilihan. Pengetahuan ini belum diketahui dalam pemilih pemula.
BACA JUGA:Prabowo Harus Gandeng Khofifah Jika Ingin Menang
Ketika proses persiapan sosialisasi, respons desa dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tempat sosialisasi beragam. Dalam proses kerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan itu, desa dan PPS A lebih responsif, sebaliknya desa dan PPS B responsnya lambat.
Melalui jeda panjang dari awal rencana kerja sama, akhirnya desa B bersedia kerja sama dengan syarat tertentu. Saat pelaksanaan sosialisasi, desa A melibatkan lurah, PPS dan pengawas, serta jumlah pemilih pemula peserta sosialisasi pemilu relatif banyak.
Sementara sosialisasi di desa B melibatkan lurah, diikuti segelintir peserta, tanpa kehadiran PPS dan pengawas. Sosialisasi itu berlangsung dua sesi pada Juli 2024.
Para pemilih pemula peserta sosialisasi bersuara senada bahwa mereka belum mendapat kegiatan serupa dari desa dan PPS. Mereka tidak mengetahui apakah desa dan PPS menjadwalkan sosialisasi.
BACA JUGA:Masih Dukung Ganjar atau Tidak?
Perangkat dari dua desa menyikapi kondisi tersebut terbelah dua juga. Desa A memandang sosialisasi dari dosen-dosen kampus selayaknya ditindaklanjuti dengan sosialisasi berikutnya oleh PPS dan sosialisasi berbasis pada dusun. Desa B cenderung pasif. Kepala desa mengetahui sosialisasi pemilu merupakan tugas PPS.
Apakah perlu lanjutan sosialisasi, kata kepala desa, bola ada di tangan PPS. Sikap pasif desa B dikaitkan dengan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki program terstruktur dalam sosialisasi pemilu online. Terdapat kesan, sosialisasi online lebih dari cukup karena para pemilih pemula bisa mengakses melalui perangkat komunikasi pintar yang dimilikinya.
Apakah sosialisasi online mengatasi segalanya? Anggota PPS menyampaikan ke penulis, sosialisasi offline untuk pemilih pemula maupun pemilih lama di dusun-dusun mendesak dilaksanakan karena informasi digital belum tentu sampai ke mereka. Problemnya, tiga petugas PPS terlalu sedikit untuk menjangkau sejumlah dusun.
Kalaupun bisa menjangkau semua dukuh, memerlukan waktu dan anggaran yang memadai karena jarak antardusun relatif jauh dan akomodasi untuk peserta sosialisasi diperlukan untuk konsumsi dan uang transport (apabila anggaran PPS memadai). Tanpa sosialisasi secara menyeluruh, pengetahuan para peserta pemilih pemula dan warga lebih dominan soal capres-cawapres.
BACA JUGA:Yakin Ganjar-Mahfud Menang Satu Putaran
Pasalnya, media konvensional, media online dan media sosial lebih banyak mengekspos seputar pencalonan di Pilpres. Sementara para caleg sangat minim sosialisasi. Informasi soal capres-cawapres mengalahkan informasi tentang teknik pemilihan. “Ketimpangan informasi” itu menjadi isyarat terdapat problem untuk mencapai proses dan hasil pemilu yang berkualitas.(kom)