Sebenarnya pacaran itu hanya berupa berkirim surat dan menulis dibuku catatan harian, tapi namanya peratuan pesantern suka tidak suka itu masuk dalam pelanggaran yang harus ditegakkan dalam bentuk apapun,
ketika saya masuk forum pelanggaran semua mata menatap dengan penuh kekecewaan, sehingga ada satu kolam tempat pembuangan saluran air kamar mandi dari asrama putri, yang tempatnya cukup menjijikkan,
Ustad. Agus Salim sebagai kepala pengasuh pada waktu itu memberikan hukuman kepada saya untuk terjun ke kolam tersebut.
Sebagai laki-laki yang gentelmen tanpa ragu saya terjun kekolam yang menjijikkan itu sebagai bentuk tanggungjawab saya atas pelanggaran dan kebodohan yang saya perbuat,
dari sekian banyak pelanggar pacaran hanya saya seorang yang dimasukkan dalam kolam itu dengan catatan saya tidak diusir dari pondok pesantren Darul Ishlah.
Maka kolam tempat saya terjun itu disebut oleh para santri dengan “KOLAM CINTA”,
Sampai sekarang kolam itu masih ada sebagai sejarah kisah cinta terlarang saya dengan seorang wanita yang tidak perlu saya sebut namanya, demi menjaga kode etik jurnalistik.
Berangkat dari kisah ini, saat semua menatap saya dengan mata kecewa, menjauh dari pusaran hidup saya, menganggap saya laksana penjahat kelas kakap, sikap para pengurus organtri seakan merasa paling suci, merasa paling disiplin,
padahal pelanggaran yang saya perbuat masih dalam batas wajar, hanya sekedar berkirim surat kepada lawan jenis.
Saya bukan pencuri, bukan pelanggar bahasa, bukan penzina, bukan pula tukang minggat atau tukang kabur dari pondok, bukan pula santri pemalas,
tapi saat itu mental saya seakan dihempaskan kelantai setelah diangkat laksana raja dalam keranda kematian yang terkubur dalam cinta yang terlarang.
Mental saya sangat terjatuh, pikiran saya terganggu, dan semua semangat saya menjadi hilang sirna tak lagi berwarna, ada rasa dendam yang begitu dalam kepada para kakak-kakak kelas yang mengejek saya, seakan meraka mahkluk tanpa dosa di pondok pada waktu itu.
Sehingga ketika puncak kesabaran saya pada titik akhir, terjadi pertengkaran yang sangat dahsyat kepada salah satu kakak kelas yang tidak bisa disebutkan namanya, karena etika jurnalistik,
kemudian di hari itu saya memutuskan untuk keluar dari Pesantren Darul Ishlah, karena saya berontak dengan sikap orang-orang yang terlampau berlebihan atas satu kesalahan yang saya perbuat.
Bergegas saya mengambil tas coklat dan ransel andalan pemberian kakek saya, berkemas semua pakian kedalam tas untuk pulang kerumah dan memutuskan untuk berhenti dari pesantren Darul Ishlah.
Saat saya melintasi asrama papan disamping kamar mandi putra, tangan keras mengejutkan dengan kenjang muallim Ramadona menarik tangan saya dan berkata kalau kamu berhenti sekarang kamu bukan Aidil yang saya kenal, kamu laki-laki pengecut, pencundang, dan lari dari tanggung jawab,