Sebagai alat bukti yang sempurna artinya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu alat bukti yang lain.
Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan disumpah oleh pemerintah dan diberikan wewenang serta kewajiban untuk melayani masyarakat atau kepentingan umum dalam hal-hal tertentu, oleh karena itu notaris ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah dan sekaligus mewakili negara atau pemerintah dalam membuat alat-alat bukti autentik.
Akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna juga memiliki kekuatan pembuktian secara lahiriah, formil dan materiil sebagaimana yang termaktub di dalam ketentuan Pasal 1886 KUHPerdata yang berbunyi, “Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada Hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.
” Akta notaris sebagai akta autentik memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil, apabila akta notaris dibuat menurut ketentuan yang berlaku maka akta itu akan mengikat terhadap para pihak sebagai akta autentik dan termasuk didalamnya pengadilan yang harus menerima akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna artinya apa-apa yang dinyatakan didalam akta notaris harus diterima kebenarannya dan tidak bisa disangkal oleh para pihak.
BACA JUGA:Lapas Lubuklinggau Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Petugas dan Warga Binaan
Akibat hukum terhadap akta notaris yang dijadikan sebagai alat bukti namun dianggap tidak sah atau cacat hukum adalah akta notaris yang kehilangan autentisitasnya namun akta notaris tersebut hanya akan berguna sebagai bukti awal dalam tulisan seperti halnya akta di bawah tangan.
Hakim tidak lagi terikat untuk menilai akta notaris yang dianggap cacat itu sebagai suatu bukti yang mengikat dan sempurna sebagaimana harusnya suatu akta autentik, akibatnya akta itu dapat dibatalkan oleh hakim atau batal demi hukum.
Hal itu tergantung dari terpenuhinya syarat sahnya perjanjian atau tidak.
Di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi, “Syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi empat syarat yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang”. Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang membuat perjanjian.
BACA JUGA:Sidang TPP WBP Lapas Narkotika Kelas IIA Muara Beliti Jelang HUT RI Ke-79
BACA JUGA:Warga Binaan Lapas Kelas IIA Lubuklinggau Panen 1,7 Ton Lele Berkualitas
Sementara syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan) maka akibat hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan.
Sedangkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), maka akibat hukumnya adalah perjanjian batal demi hukum.
Perjanjian dapat dibatalkan atau voidable artinya salah satu pihak dapat meminta pembatalan.