Kedua: Inti dari tawakal adalah benar-benar menyandarkan hati kepada Allah dalam meraih maslahat atau menolak mudarat, berlaku dalam perkara dunia maupun akhirat.
Dalam tawakal, kita menyandarkan seluruh urusan kepada Allah. Dalam tawakal, kita merealisasikan iman dengan benar yaitu meyakini bahwa tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang mendatangkan mudarat, tidak ada yang mendatangkan manfaat selain Allah. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497)
Ketiga: Bertawakal bukan berarti tidak melakukan apa-apa, karena usaha juga diperintahkan untuk dilakukan.
Berusaha sudah termasuk sunnatullah, karena Allah memerintahkan untuk mencari sebab bersamaan dengan bertawakal kepada-Nya.
BACA JUGA:Menikmati Senja di Wisata Kuliner Bude Tugumulyo Musi Rawas
Keempat: Menempuh sebab dengan usaha badan kita merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati kita adalah bagian dari keimanan kepada Allah.
Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:498.
Kelima: Buah dari tawakal adalah rida pada qadha’ (ketetapan) Allah. Oleh karenanya, sebagian ulama menafsirkan tawakal dengan rida kepada Allah. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:508. (*).
(KORANLINGGAUPOS.CO)