LUBUKLINGGAU, KORANLINGGAUPOS.ID - Memasuki tahun-tahun politik, sudah sewajarnya bagi calon pejabat publik melakukan kampanye untuk mempromosikan dirinya demi memperoleh suara rakyat.
Akan tetapi, bentuk kampanye yang disampaikan kadang tidak selalu berupa narasi positif terkait si calon, melainkan terdapat pula strategi kampanye yang membuka keburukan calon yang lain atau biasa disebut dengan kampanye negatif.
Pertanyaannya, bolehkah kampanye negatif tersebut dilakukan? Padahal membuka keburukan seseorang termasuk perbuatan ghibah yang diharamkan oleh Islam.
Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas dalam catatannya pada laman NU Online yang dilansir KORANLINGGAUPOS.ID menjelaskan, definisi dari ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan keburukan-keburukan yang benar-benar ada pada seseorang di belakangnya. Jika keburukan-keburukan itu tidak benar maka disebut kebohongan. Jika dilakukan di depan orangnya maka disebut sebagai celaan. (Al-Jurjani, Kitabut Ta’rifat, [Kairo, Darul Fadhilah: 2011], halaman 137).
BACA JUGA:Polres Musi Rawas Rapat Eksternal Bahas Pengamanan Kampaye Prabowo
Tak ayal, permasalahan ini menimbulkan dilema tersendiri. Pasalnya ghibah merupakan perbuatan yang hukumannya tak bisa dibilang ringan.
Beratnya ucapan ghibah tergambar dari teguran Nabi Muhammad saw kepada ‘Aisyah tatkala beliau menyifati salah satu istri Nabi, Shafiyyah binti Huyai, sebagai orang bertubuh pendek. Mendengar ucapan itu Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Sungguh engkau telah mengucapkan perkataan yang apabila dicampurkan dengan air laut maka perkataan itu akan mengubahnya (karena busuknya perkataan tersebut).” (HR. Abu Dawud).
Namun di sisi lain, rakyat perlu mengetahui sifat-sifat buruk calon pejabat yang akan mengurusi masalah-masalah publik. Rakyat pastinya tidak mau memilih seseorang yang terlihat baik di depan, tetapi menyimpan aib-aib yang akan menyengsarakan mereka.
Maka untuk mengatasi masalah ini, para ulama memberi beberapa pengecualian yang membolehkan kita membuka keburukan orang lain. Kebolehan ini didasarkan pada kemaslahatan dalam pandangan syariat yang tidak bisa dicapai tanpa mengungkap keburukan orang tertentu.
BACA JUGA:Sopir Diduga Ngantuk Bus Rombongan Kampaye Ganjar-Mahfud Terguling
Adapun mengungkap aib calon pejabat publik diperbolehkan jika memenuhi tiga kriteria.
Pertama, mengungkap aib seseorang diperkenankan jika dimaksudkan untuk memperingatkan dan menasihati kaum muslimin dari suatu keburukan.
Hal ini sebagaimana nasihat Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Qais tentang dua laki-laki yang melamarnya. Yang artinya: “Dari Fatimah binti Qais ra berkata: aku mendatangi Nabi saw kemudian aku berkata: sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah melamarku. Lalu Rasulullah saw bersabda: Mu’awiyah adalah orang miskin yang tak punya harta, adapun Abul Jahmi suka memukul perempuan” (Muttafaq ‘Alaih).
Dalam hadits tersebut terlihat jelas bahwa Rasulullah saw menyebutkan aib Mu’awiyah dan Abul Jahmi di belakang mereka. Akan tetapi, hal ini disampaikan Rasulullah saw sebagai nasihat untuk pertimbangan Fatimah dalam memilih calon suaminya.
BACA JUGA:Respect Mahfud MD dan Ahok Mundur, Netizen : Prabowo Kapan Mundur