Berangkat dari kasus di atas, jika menerangkan keburukan orang lain untuk kebaikan rumah tangga satu orang saja diperbolehkan, apalagi mengungkap keburukan calon pejabat demi kemaslahatan rakyat secara luas.
Kedua, selain mengandung unsur nasihat, membuka aib calon pejabat juga harus didasarkan pada informasi yang relevan. Relevan dalam arti keburukan yang dibuka merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik, bukan aib-aib pribadinya.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Al-Qarafi: Artinya, “Dan disyaratkan dalam bagian ini (mengungkap aib sebagai nasihat) adanya kebutuhan yang mendesak serta penasihat mencukupkan pada aib-aib yang merusak kemashlahatan khusus yang dimusyawarahkan.” (Al-Qarafi, Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, [Beirut, Darul Kutubil Ilmiyyah: 1998], juz IV, halaman 359).
Sebagai contoh, kita boleh saja membeberkan keburukan-keburukan si calon terkait kinerjanya yang buruk, pernah korupsi, atau kebijakan-kebijakan masa lalunya yang merugikan masyarakat.
BACA JUGA:Tegaskan Netral Dalam Pemilu 2024 Kapolri Keluarkan Surat Telegram Netralitas Polri
Akan tetapi, kita dilarang mengungkapkan hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kinerja, seperti si calon itu adalah anak zina atau anaknya adalah tukang maksiat dan semisalnya.
Ketiga yang paling penting, halalnya membuka aib calon pejabat publik mensyaratkan kebenaran informasi yang pasti. Ini berarti tidak dibenarkan menyebarkan keburukan-keburukan si calon yang masih berupa kabar burung dan simpang siur belaka: Artinya, “Setiap orang, baik di masa pemilu ataupun bukan, sesuai dengan syariat bisa mengatakan bagi pejabat (atau calon) yang baik, ‘ini adalah orang baik’, dan bagi pejabat (atau calon) yang buruk, ‘ini adalah orang buruk’, selama dia mampu memastikan keburukan calon tersebut.” (Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ul Jina’iyyul Islami, [Beirut, Darul Katibil ‘Azaly: 2008], juz II, halaman 459).
Maka, dapat disimpulkan bahwa mengungkap aib calon pejabat publik melalui kampanye negatif kepada khalayak diperbolehkan selama memenuhi unsur nasihat, informasinya relevan, dan dapat dipastikan kebenarannya.
Adapun beberapa narasi di media sosial yang kerap kali membongkar aib-aib keluarga calon atau belum pasti validitasnya, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan oleh syariat karena masuk ke dalam kategori ghibah yang diharamkan sekaligus potensi fitnah dan kebohongan.(*)