LUBUKLINGGAU, KORANLINGGAUPOS.ID – Sejak Januari hingga Februari 2024 sudah ada 3 kasus asusila terhadap anak dibawah umur. Baik itu pencabulan maupun persetubuhan.
Kapolres Lubuklinggau AKBP Indra Arya Yudha melalui Kasat Reskrim, AKP Hendrawan didampingi Aiptu Dibya ketika diwawancara KORANLINGGAUPOS.ID Selasa 13 Februari 2024 mengatakan dikatakan pencabulan bahwa pelaku hanya sekedar meraba-raba tanpa hubungan suami-istri. Sedangkan persetubuhan yakni pelaku melakukan hubungan intim layaknya suami istri terhadap korban.
Aiptu Dibya menjabatkan, jumlah kasus kekerasan seksual baik kasus pencabulan dan persetubuhan tahun 2022 ada 41 kasus, lalu 2023 ada penurunan menjadi 32 kasus yang paling banyak di Kecamatan Lubuklinggau Barat I. Artinya jika dikalkulasi, dari tahun 2022 hingga 2024 ini sudah 76 anak jadi korban kekerasan seksual, baik pencabulan maupun persetubuhan.
“Dan memang dari kasus yang ada yang paling banyak kasus persetubuhan. Bahkan mirisnya beberapa anak yang jadi korban ada yang hamil hingga melahirkan,” jelas Kanit PPA.
BACA JUGA:6 Kiat Mencegah Anak jadi Korban Kekerasan Seksual
Menurutnya dari laporan yang masuk, pelaku rata-rata usia dewasa diatas 17 tahun sementara korban didominasi usia dibawah 17 tahun atau dibawah umur.
“Kenapa anak-anak perempuan sering jadi korban? Karena mereka mudah dibujuk rayu, dan sangat mudah diancam, kebanyakan anak-anak dari keluarga yang broken home. Sementara untuk pelaku ada dibawah umur dan dewasa namun kebanyakan pelaku yang dewasa. Biasanya bagi pelaku dewasa kebanyakan tidak mempunyai pasangan hidup (duda), bujang, bahkan ada juga pelaku sudah mempunyai anak dan istri,” ucap Aiptu Dibya.
Dalih pelaku melakukan persetubuhan maupun pencabulan terhadap anak, ada yang kurang puas dengan nafkah batin dari istri, ada karena nafsu dan ada juga akibat sering nonton film porno.
“Pelaku kebanyakan bapak tiri, dan motipnya kebanyakan kurang puas dengan kasih sayang istrinya. Kalau pelaku anak-anak karena sering nonton video melalui HP yang ada di aplikasi. Memang sebagian besar pelaku adalah orang dekat korban, ada yang tetangga, pacar, kenalan, dan bapak tiri. Modusnya juga bermacam-macam mulai dari pengancaman, diimingi uang dan kalau dia pacaran diimingi akan dinikahi,” ungkapnya.
BACA JUGA:Oknum Caleg Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Kenali Gejala yang Dialami Korban
Sebagai langkah pencegahan, kata Aiptu Dibya, tidak bisa dari kepolisian saja.
“Kalau kami sudah melakukan penyuluhan kepada sekolah. Dan tentu peran orang tua juga sangat penting terutama untuk penguatan dari segi pengetahuan tentang agama, kehadiran atau pengenalan jati diri. Lalau cek fisik korban jika mengalami perubahan, saat main harus diawasi dengan siapa dia keluar dan selalu cek Hpnya baik di aplikasi WA, FB dan intagramnya. Serta menghimbau kepada Kominfo untuk memblokir situs video porno yang ada di aplikasi ,” tegasnya.
Aiptu Dibya mengingatkan, jangan senang-senang melakukan persetubuhan atau pencabulan terhadap anak. Sebab hukumannya berat. Sesuai dengan pasal 82 ayat (1) dan 81 ayat (2) UU RI No. 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI NO. 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak Jo pasal 76E dan 76D UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara, dan minimal 5 tahun penjara.
Lantas bagaimana cara mengenali gejala-gejala masalah psikologis yang muncul pada korban kekerasan seksual, persetubuhan maupun pencabulan?
BACA JUGA:34,51Persen Peserta Didik Berisiko Mengalami Kekerasan Seksual, ini Tugas TPPK di Sekolah