Kita disadarkan ketika kerusakan demokrasi hampir sempurna, Sukidi merujuk pada pendapat Steven Levitski dan Daniel Zibllat (2018) yang menyebut, democracy’s assasins.
Kritik mengenai demokrasi, konstitusi, etika dan moral memang terasa keras.
Namun, sepertinya tak ada sepenuhnya terdengar, partai politik merasa bangga dengan capaian hasil pemilu yang menyebutkan, suara rakyat, suara Tuhan.
BACA JUGA:Rombak Besar-Besaran, Ini 5 Dulu Bakal Menteri Kabinet Prabowo-Gibran
Rakyat telah bersuara melalui pemilu, Organisasi masyarakat yang biasanya kritispun, tak terdengar suaranya.
Bahkan, cenderung memberikan legitimasi, diam adalah pilihan politik ketika bersuara punya risiko.
Seorang menteri senior di pemerintahan merasa jengkel dengan para kritikus.
Bahkan, dia menyarankan, entah serius atau berkelakar untuk keluar saja dari Indonesia jika terus mengkritik.
BACA JUGA:Viral Caleg Partai Gerindra Meninggal Dunia, Usai Dukung Prabowo dan Telah Raih Suara Terbanyak
Bangsa ini tampaknya, kini dan saat ini, sedang terperangkap pada pembelahan aspirasi (divided aspiration) tiga lapis.
Kelas atas yang mendominasi penguasaan ekonomi, punya atensi besar pada stabilitas politik, iklim bisnis dan kesinambungan.
Kelas menengah, sebagian kampus, dan sejumlah elite dan aktivis masyarakat sipil, menaruh perhatian pada isu demokrasi, konstitusi, etika, moral, dan korupsi.
Kelompok ini merasa gusar dengan merebaknya nepotisme tanpa rasa malu, pengesampingan konstitusi, rule of law serta etika dan moralitas.
BACA JUGA:Profil Mayor Teddy Ajudan Prabowo Subianto yang Dikagumi Kaum Hawa
Keprihatinan ini direspons dengan apa yang disebut cooling system dengan mengembangkan narasi tandingan.
Dalam situasi post-truth, situasi ini menimbulkan kebingungan di akar rumput.