“Ketika kita melakukan upaya-upaya untuk pengobatan atau upaya kuratif itu biasanya tidak akan memperbaiki penglihatan tetapi hanya mempertahankan kondisi yang saat ini ada,” kata Dr. Fifin.
Beberapa faktor risiko glaukoma, kasus glaukoma pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan kasus glaukoma pada ras kulit hitam lebih banyak dibandingkan ras kulit putih.
Glaukoma juga merupakan penyakit degeneratif sehingga risikonya meningkat seiring bertambahnya usia. Faktor lain yang berperan adalah riwayat glaukoma dalam keluarga, status refraksi seperti miopia dan hipermetropia, serta penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan hipotensi.
Dr. Evelyn, narasumber lainnya, menekankan pentingnya skrining glaukoma sebagai deteksi dini untuk meminimalisir kehilangan fungsi penglihatan. World Glaucoma Week 2024 menganjurkan skrining menggunakan patokan usia, yaitu usia di bawah 40 tahun sebanyak 2-4 tahun sekali, usia 40-60 tahun sebanyak 2-3 tahun sekali, usia lebih dari 60 tahun sebanyak 1-2 tahun sekali.
BACA JUGA:Catat 5 Jenis Pelanggaran yang Jadi Fokus Operasi Keselamatan, 4-17 Maret 2024
“Tentunya ini hanya patokan karena akan ada faktor risiko, kemudian keluhan, hasil pemeriksaan, tentunya itu akan berbeda-beda setiap pasien,” kata Dr. Evelyn.
Glaukoma kronis tidak menimbulkan gejala sehingga berbeda dengan glaukoma akut yang menimbulkan gejala seperti mata merah, nyeri pada mata, pandangan kabur, mual dan muntah, melihat pelangi atau lingkaran cahaya, dan penyempitan lapang pandangan.
“Yang khas itu melihat pelangi atau lingkaran cahaya, jadi gambarannya itu pas hujan kita naik mobil kita melihat dari jendela lampu di luar itu di sekitarnya ada gambaran warna-warna pelangi itu yang menjadi ciri khas orang glaukoma pada saat tekanannya tinggi,” ungkap Dr. Evelyn.
Dr. Virna Dwi, juga sebagai narasumber, menyampaikan tujuan tata laksana glaukoma, yaitu mempertahankan fungsi penglihatan, menjaga kualitas hidup pasien, mencegah penurunan lapang pandangan, menangani faktor risiko, yaitu tekanan bola mata.
BACA JUGA:Cewek Wajib Tahu, Ini 5 Kesalahan Pemakaian Maskara Bikin Menggumpal di Bulu Mata
“Walaupun kita tahu 80-90% kasus glaukoma di Indonesia faktor risikonya tekanan bola mata tinggi, sehingga memang kita berupaya semaksimal mungkin menurunkan tekanan bola mata dengan sebaik-baiknya, kemudian juga faktor-faktor risiko terkait,” kata Dr. Virna.
Dr. Virna juga menyampaikan modalitas tata laksana glaukoma untuk menurunkan tekanan bola mata, yaitu dengan medikamentosa atau obat-obatan, laser, dan pembedahan. Sedangkan neuroproteksi, yaitu dengan, citicoline, ginkgo biloba, memantine, dan vitamin B1.
“Tapi, neuroproteksi ini masih dalam penelitian masih ada beberapa penelitian. Namun, penelitian-penelitian yang lain ini seperti vitamin B1, ginkgo biloba, memantine, itu ada tetapi ketika di coba di pasien masih kurang jelas efeknya,” kata Dr. Virna. (*)