Apalagi secara kalkulasi kursi Golkar Lubuklinggau cukup syarat untuk mengajukan bakal calon tanpa koalisi, meski kemudian koalisi dengan parpol lain tetap menjadi concern penting terkait konsensus pasangan, tambahan suara dan hal lain yang dianggap urgen.
Demikian halnya dengan nama bakal calon di Kabupaten Muratara, tetap memasukkan nama Ketua DPD Golkar Hasbi Assadiki, meski raihan kursi/suara Golkar tidak lebih baik dari Pileg 2019.
Namun, seridaknya Golkar Muratara akan punya bargaining power dalam dukungan kursi maupun pengusungan calon, meski pada level wakil bupati.
Diantara ketiga wilayah MLM, prestasi Golkar Muratara memang 'tidak terlalu menonjol' dan sepertinya akan realistis untuk tidak memaksakan kadernya pada level pencalonan sebagai bupati.
BACA JUGA:Partai Golkar Kumpulkan 1.164 Bakal Calon Kepala Daerah Mereka
Ketiga, bahwa rllis nama-nama bakal calon kepala daerah Partai Golkar harusnya dibaca sebagai mekanisme awal dari proses panjang rekruitmen bakal calon. Karena akan ada proses-poses selanjutnya, dan biasanya akan dilakukan melalui survey lembaga yang di rekomendasi oleh DPP partai terkait bagaimana popularity, likebility, aksestability, electability dan hal lain yang menjadi parameter partai.
Tradisi rekruitmen dan basis dujungan melalui instrumen survey ini sudah dilakukan Partai Golkar dalam beberapa kali Pilkada. Artinya, rilis nama bakal calon kepala daerah ini bukan tahapan final, karena masih ada tahapan selanjutnya, yang mungkin saja sama/berbeda dari nama-nama yang beredar saat ini.
Keempat, bahwa pernah terjadi anomali dukungan terhadap nama bakal calon yang telah mendaftar/atau di rekomendasi kepada bakal calon di luar nama yamg beredar saat ini.
Pada Pilkada Kabupaten Musi Rawas 2020, (jika masih ingat) tidak ada nama Hj. Ratna Machmud mendaftar ke DPD Partai Golkar Musi Rawas.
BACA JUGA:Partai Golkar Muratara Ajukan Gugatan ke MK dan Lapor ke DKPP
Tetapi melalui 'manuver' di DPP, petahana Bupati Musi Rawas tersebut mendapat dukungan sebagai bakal calon dari Partai Golkar.
Anomali yang sama, sangat mungkin terjadi kembali dalam proses dukungan pilkada 2024 yang akan datang.
"Pada akhirnya, kita juga harus membaca rilis nama kepala daerah tersebut sebagai bagian dari proses awal, yang dengan dinamika, tarik menarik kepentingan serta manuver politik para pihak, hasil akhirnya bisa jadi sama/berbeda dengan konfigurasi dan konstalasi politik saar ini," paparnya. (*)