Opini : Urgensi Transformasi Guru di Tengah Adaptasi Perubahan Kurikulum

Widya Utami, S.Pd -Foto : Dok. Pribadi-

    Transformasi guru tidak hanya terkait dengan keterampilan teknis, tetapi juga terkait dengan perubahan pola pikir dan cara pandang guru terhadap peran mereka dalam pendidikan. Guru harus memiliki Mindset Tumbuh (Growth Mindset)  dalam menyikapi segala dinamika pendidikan yang terus berubah. Guru bermindset tumbuh akan siap menghadapi keadaan dengan respon yang menunjukkan keinginan belajar dan berkembang meskipun dia akan menemui aral melintang dan kegagalan. Annie Brock & Heather Hundley dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi Efektif Untuk Mindset Tumbuh” menjelaskan sifat-sifat guru bermindset tumbuh diantaranya fleksibel dalam melihat kebutuhan siswa, memiliki harapan tinggi kepada siswa, komunikatif dalam memfasilitasi belajar siswa, menunjukkan kepedulian dan perhatian terhadap kehidupan, minat dan keinginan mereka, berorientasi pada proses belajar dan bukan semata-mata tentang hasil, menghargai setiap kesalahan siswa, berusaha melihat tantangan dan perjuangan dari sudut pandang siswa, berkolaborasi dalam komunitas pembelajar, serta bijaksana dan adil dalam memberikan kesempatan dan sarana belajar kepada siswa. 

BACA JUGA:Opini: Kepentingan Antara Pusat dan Daerah: Mencari Titik Temu Dalam Desentralisasi

BACA JUGA:Opini: Pentingnya Perlindungan Bagi Guru

    Pendidikan sejatinya mengaktualkan berbagai potensi siswa untuk menjadi manusia yang sejahtera dan berbahagia. Ungkapan tokoh E.F Schumacher yang termuat dalam buku karya Haidar Bagir yang berjudul “Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia” dapat menjadi refleksi bagi guru.Dalam kutipan tersebut, Schumacher mengatakan bahwa pendidikan hendaknya tak hanya menekankan pada know how, tetapi justru harus mengembangkan aspek know why-nya yakni makna dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki. Era pendidikan modern menuntut guru untuk selalu siap beradaptasi dengan segala perubahan yang ada. Namun apapun kurikulum yang diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, kita harusnya mengingat dan memahami bahwa proses belajar tidak hanya dikuasai oleh domain kognitif dan psikomotor lalu kemudian melupakan domain afektif dan moralitas. Ketiga domain tersebut harus diajarkan kepada siswa secara seimbang dan diukur oleh guru dengan instrumen sebaik-baiknya. Penilaian (assesment) diselenggarakan bukan semata-mata untuk mengukur hasil pencapaian akademis siswa. Namun setiap penilaian harus dilakukan dengan proses dan cara-cara autentik yang mencakup karakter serta berbagai kecerdasan dan bakat lain siswa. Selain itu, guru juga perlu merefleksikan segala proses belajar yang telah dilakukan. Proses pengajaran satu arah, pemberian pengetahuan dengan teknik hapalan tanpa memahami makna,serta mengabaikan rasa keingintahuan siswa sudah tidak lagi relevan dengan paradigma pembelajaran abad ke 21.

    Terakhir, kualitas pendidikan di Indonesia sangat bergantung pada seberapa cepat dan efektif guru dapat beradaptasi dengan kurikulum baru. Tanpa adanya perubahan dalam metode pengajaran dan peningkatan kemampuan teknis serta pedagogis guru, tujuan dari perubahan kurikulum tersebut akan sulit tercapai. Oleh karena itu, urgensi transformasi guru tidak hanya sekadar mengenai peningkatan kemampuan mengajar, tetapi juga tentang bagaimana hal ini dapat berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan, yang pada akhirnya akan membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan global dan membangun masa depan yang lebih baik.

 (Penulis merupakan Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Penulisan opini ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan