Kurikulum Berbasis Cinta Dirancang Dengan Menitikberatkan Pada Pengembangan Karakter
Kepala Seksi Pendidikan Madrasah, H Taslim --
Lebih jauh, kurikulum ini menanamkan kepedulian terhadap sesama tanpa memandang latar belakang, cinta terhadap alam sebagai wujud ibadah, dan penerimaan terhadap keberagaman dalam pendapat, keyakinan, maupun perilaku.
Di sisi kebangsaan, kurikulum ini menumbuhkan cinta terhadap tanah air melalui penghormatan terhadap nilai-nilai kebangsaan, budaya, dan kearifan lokal, menjaga persatuan dan kedaulatan, serta berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Definisi Kurikulum Berbasis Cinta
BACA JUGA:Opini : Urgensi Transformasi Guru di Tengah Adaptasi Perubahan Kurikulum
BACA JUGA:SDN 44 Lubuk Linggau Terapkan Kurikulum Merdeka, ini Manfaatnya
Kurikulum Berbasis Cinta dapat dikaitkan dengan beberapa teori kurikulum yang berfokus pada perkembangan sosial, emosional, dan moral peserta didik.
Salah satu teori yang paling relevan dengan Kurikulum Berbasis Cinta adalah Teori Kurikulum Humanistik oleh Carl Rogers (Rogers, 1994) yang menekankan pentingnya perkembangan pribadi dan potensi peserta didik sebagai individu yang unik dan bernilai.
Teori ini berfokus pada kebutuhan emosional, sosial, dan psikologis peserta didik, serta mendorong mereka untuk menjadi orang yang mandiri, kreatif, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat.
Relevansi Teori Kurikulum Humanistik dengan Kurikulum Berbasis Cinta meliputi hal-hal sebagai berikut.
BACA JUGA: RA Ummi Lubuk Linggau Gelar Market Day: Ajarkan Siswa Berwirausaha Lewat Kurikulum Merdeka
BACA JUGA:Kurikulum Nasional Jadi Syarat Utama SNBP dan SNBT 2025
1. Pusat Perhatian pada Peserta Didik Kurikulum dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan minat peserta didik, bukan hanya untuk memenuhi tujuan akademis.
2. Pengalaman Belajar yang Signifikan Belajar harus menjadi pengalaman yang bermakna dan relevan dengan kehidupan peserta didik sehingga mereka dapat mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan dunia sekitar.
3. Keterlibatan Emosional Proses belajar harus melibatkan emosi dan perasaan peserta didik, bukan hanya kognitif atau intelektual saja.
4. Hubungan yang Mendukung Guru berperan sebagai fasilitator yang mendukung dan memfasilitasi proses belajar peserta didik, bukan hanya sebagai pengajar yang otoritatif
Dijelaskannya, pendidikan tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu, tetapi juga dalam membentuk karakter dan nilai moral, mencetak generasi yang cerdas, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan masa depan.