Menag Rencanakan Nikah Semua Agama di KUA, Begini Tanggapan PKS
Anggota DPR Komisi VIII dari Fraksi PKS - Hidayat Nur Wahid-Foto : Dokumen -Fraksi PKS
BACA JUGA:Nikah di KUA Lebih Mudah dan Murah, Persiapkan Syarat dan Ketentuannya
“Pengaturan pembagian pencatatan nikah yang berlaku sejak Indonesia merdeka yakni Muslim di KUA dan non Muslim di Pencatatan Sipil selain mempertimbangkan toleransi juga sudah berjalan baik, tanpa masalah dan penolakan yang berarti. Maka usulan Menag itu jadi ahistoris dan bisa memicu disharmoni ketika pihak calon pengantin non Muslim diharuskan pencatatan nikahnya di KUA yang identik dengan Islam. Faktor sejarah terkait pembagian pencatatan pernikahan itu harusnya dirujuk, agar niat baik Menag tidak malah offside atau melampaui batas. Apalagi soal menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah bagi semua Agama yang berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR-RI. Sementara banyak warga yang kami temui saat reses, merasa resah dan menolak rencana program yang diwacanakan Menag tersebut,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya yang dikutip KORANLINGGAUPOS.ID dari laman FRAKSI.PKS.ID Senin 26 Februari 2024.
Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menjelaskan, asal muasal KUA adalah institusionalisasi dari jabatan Penghulu yang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia sudah bertugas mencatatkan pernikahan dan urusan keagamaan lainnya bagi warga Muslim.
Adapun bagi non Muslim, dicatatkan langsung kepada Pemerintah melalui dinas Pencatatan Sipil (Capil), dalam rangka toleransi dan menghargai keragaman umat beragama, dan juga untuk memudahkan mereka baik secara psikologis maupun sosial.
Secara mendasar, hal itu sesuai ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945 yang jelas mengamanatkan Negara untuk menjamin agar tiap penduduk dapat beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
BACA JUGA:Boleh Menikah di Masjidil Haram
Dalam aplikasinya, pembagian kewenangan pencatatan nikah juga sudah ada jauh sejak lahirnya UU No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, dan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Panjangnya masa berlaku UU Pencatatan Nikah dan Perkawinan menunjukkan bahwa urusan pencatatan pernikahan yang memberikan pengakuan atas kekhasan ajaran Agama terkait pernikahan tersebut berjalan dengan baik, diterima dan lancar, sebagaimana amanat Undang-undang Dasar. Apalagi Menag dan publik tentunya tau, bahwa KUA selain perpanjangan dari peradilan Agama (Islam) juga merupakan institusi/kantor yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam, yang memang tugasnya hanya mengurusi umat Islam saja,” sambung Hidayat.
Dirinya menjabarkan, berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016, Kantor Urusan Agama Kecamatan merupakan unit pelaksana Teknis pada Kementerian Agama, berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Anehnya, usulan Menteri Agama agar KUA juga mengurusi pencatatan nikah semua agama, disampaikan juga pada Raker Ditjen Bimas Islam.
BACA JUGA:Dampak Nikah Usia Dini Bahaya Banget, Psikolog Lubuklinggau: Rentan Cerai
“Sangat disayangkan di Forum Raker dengan Bikas Islam yang harusnya mengutamakan pembahasan peningkatan layanan untuk Masyarakat Islam, justru digunakan untuk membahas yang bukan lingkup tugas dan tanggung jawab Bimbingan Masyarakat Islam,” ujar Hidayat.
Dirinya mempertanyakan, jika KUA juga ditugasi mencatat nikah semua agama, apakah artinya akan dibuat ketentuan baru bahwa KUA tidak lagi berada di bawah Ditjen Bimas Islam?
Jika masih di Bimas Islam, maka apa relevansinya mencatatkan pernikahan non Muslim. Dan apakah non Muslim juga akan menerima pencatatan pernikahan mereka di lembaga yg berada di bawah Ditjen Bimas Islam?
Juga komisi VIII DPR RI apa juga akan menerima hal yang ahistoric dan alih-alih menjadi solusi, malah bisa menimbulkan banyak keresahan dan disharmoni.