LUBUKLINGGAU, LINGGAUPOS.BACAKORAN.CO - Usai dengan Objek Wisata Bendungan Watervang yang telah menjadi cagar budaya yang ada di Kota Lubuklinggau dan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Lalu bagaimana sejarah dibangunnya, Watervang pada masa Belanda, hingga menjadi Objek Wisata Bendungan Watervang?
Diceritakan oleh Sartirin pada tahun 2015 yang lalu Objek Wisata Bendungan Watervang, bahwa ketika itu ia berusia 3 tahun.
Beliau dibawa oleh orang tuanya sebagai anggota transmigrasi dari Nganjuk Jawa Timur maka asal usul warga kampung F Trikoyo mayoritas didominasi para transmigrasi pada gelombang kedua tahun 1938, dari Nganjuk dan Boyolali dalam perjalanannya ini para transmigrasi masuk secara perorangan maupun kelompok dari daerah lain seperti Yogyakarta nama-nama kampung ini sejatinya berdasarkan tempat tinggal asal mereka.
Sebelum bertranmigrasi sehingga menamainya dengan nama yang sama.
Kehidupan kolonial dengan sistem kolonisasi di Tugumulyo diatur dalam beberapa kampung yang ada di Tugumulyo.
Transmigrasi yang diberi nama dengan huruf Alfabet dan lurah sebagai kepala kampungnya telah tercatat bahwa ada 15 kampung di kolonisasi Tugumulyo.
Kemudian lurah-lurah tersebut bertanggung jawab, kepada seorang Kepala Marga Protein 5 yang berkedudukan di muara beliti.
Kemudian Marga Protein ini juga bertanggung jawab kepada seorang controleur.
Khusus daerah kolonisasi, lazimnya penamaan kampung-kampung berdasarkan abjad huruf ini dari unit satuan pemukiman atau SP disamping dari penghasilan sawah pertanian.
Maka dari gaji dalam kedudukan sebagai lurah juga berlaku peraturan yaitu sebesar 62, setengah kilogram padi gabah untuk setiap lurah.
Pada umumnya itu dirasakan amat berat oleh petani dan masalah ini yang hampir setiap tahun menjadi pembicaraan yang ramai antara lurah dan para petani.
Hal ini disebabkan lurah sering mengabaikan tugasnya dengan alasan bahwa mereka belumlah lurah resmi.
Kala itu jabatan lurah belum terpilih secara langsung sebutkan lurah sebagai kepala kampung transmigrasi ini mengadopsi dari tradisi mereka di Jawa yang memiliki figur kepemimpinannya dengan aspek ketokohanya. (habis)