KORANLINGGAUPOS.ID- Kohabitasi, atau yang lebih sering disebut "kumpul kebo," telah menjadi fenomena sosial yang kian marak di Indonesia.
Praktik hidup bersama antara pasangan tanpa ikatan pernikahan resmi ini memunculkan kontroversi, terutama di tengah norma sosial dan agama yang kuat menentangnya terhadap adanya fenomena kohabitasi atau kumpul kebo ini.
Meski tidak mendapatkan pengakuan hukum, gaya hidup kohabitasi atau kumpul kebo semakin diterima di kalangan anak muda yang mulai bergeser pandangannya tentang pernikahan dan hubungan asmara.
Para anak muda kini memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban normatif yang penuh dengan aturan.
BACA JUGA:Ini Dia Fenomena Yang Dirayakan Google 29 Februari 2024 Ternyata Hari Kabisat
BACA JUGA:6 Fakta Unik Tahun Kabisat Sampai Dirayakan Google 29 Februari 2024 ,Ternyata Begini Fenomenanya
Bagi mereka, kohabitasi atau kumpul kebo menawarkan kebebasan dari ikatan formal dan komitmen yang berpotensi membatasi, serta mengizinkan ekspresi cinta yang lebih “murni.”
Hal ini sangat berbeda dengan pandangan tradisional, yang memandang pernikahan sebagai landasan penting dalam membangun keluarga.
Namun, di Asia, kohabitasi atau kumpul kebo masih jauh dari diterima.
Negara-negara seperti Indonesia, yang kaya akan budaya dan tradisi, terus menjaga nilai-nilai ini meskipun modernisasi membawa perubahan dalam cara pandang generasi muda.
BACA JUGA:Ada 9 Negara Ternyata Belajar Bahasa Indonesia Juga, Ini Daftar Nama Negaranya
BACA JUGA:Apa Itu Fenomena Equinox? Ini Dampak Fenomena Equinox Bagi Indonesia
Sebuah studi berjudul The Untold Story of Cohabitation yang dipublikasikan pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa kohabitasi atau kumpul kebo lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, khususnya di daerah dengan penduduk non-Muslim yang dominan.
Menurut Yulinda Nurul Aini, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), fenomena kohabitasi atau kumpul kebo di Manado, Sulawesi Utara, di mana dia melakukan penelitian, dipengaruhi oleh tiga alasan utama, beban finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial yang lebih besar.
Dalam kajian ini, ditemukan bahwa sebanyak 0,6 persen penduduk di kota Manado memilih kohabitasi atau kumpul kebo.