Data PK21 mengungkapkan bahwa 69,1 persen pasangan kohabitasi atau kumpul kebo mengalami konflik.
BACA JUGA:Apa Itu Fenomena Equinox? Ini Dampak Fenomena Equinox Bagi Indonesia
BACA JUGA:7 Fenomena Menarik di Dunia Kucing Mengapa Kucing Menjulurkan Lidah Seperti Anjing
Bentuk konflik ini beragam, mulai dari ketidakharmonisan hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh 0,26 persen pasangan kohabitasi atau kumpul kebo.
Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi atau kumpul kebo juga sering kali menghadapi stigma sosial yang membebani.
Mereka kerap mendapat label negatif dan dianggap sebagai "anak haram" oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya.
Hal ini berdampak pada perkembangan emosional mereka dan dapat menyebabkan krisis identitas.
BACA JUGA:7 Fenomena Menarik di Dunia Kucing Mengapa Kucing Menjulurkan Lidah Seperti Anjing
BACA JUGA:Menakjubkan! Fenomena Alam Bakal Terjadi Jelang Lebaran Nanti, Komet Setan Akan Lintasi Bumi
Banyak dari mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung, sehingga merasa sulit menempatkan diri dalam struktur sosial.
Tantangan bagi Pemerintah dan Masyarakat
Fenomena kohabitasi atau kumpul kebo yang kian meningkat menuntut adanya perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat.
Diperlukan kebijakan khusus yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak dalam hubungan kohabitasi atau kumpul kebo.
BACA JUGA:Prakiraan Cuaca Ekstem 18 Oktober 2024, Ada Dampak Fenomena La Nina
Selain itu, edukasi yang menekankan pentingnya komitmen dan tanggung jawab dalam hubungan dapat membantu mengurangi risiko dari praktik kohabitasi atau kumpul kebo.