2. Bahwa proses penghitungan suara berlangsung rerata sampai dini hari/subuh (bahkan siang hari jika penghitungan ulang). Artinya, fokus, fisik dan energi para petugas dan saksi terkuras. Ini menungkinkan terjadinya kesalahan entry data (human error), meski KPU juga merilis pengakuan bahwa ada 1.223 TPS terjadi salah input data.
Bisa saja karena kelelahan, waktu yang mepet dan saling kontrol antara petugas dan saksi yang kurang.
3. Namun pada sisi lain, tidak menutup peluang adanya ‘unsur kesengajaan/modus’ penyelenggara dalam meng-entry data yang berbeda antara C1 manual dengan aplikasi Sirekap. Tentu saja premis ini nanti harus di dukung oleh bukti-bukti yang kuat, baik dari peserta atau Bawaslu.
4. Pemilu 2024, baik pilpres maupun pileg adalah ‘benturan kepentingan’ antara para pihak (baik kontestan/parpol), sehingga memang akan sangat rawan dengan ‘klaim kemenangan’ sebagai bagian dari penggiringan opini atau pengamanan hasil.
BACA JUGA:Banyak Caleg Ngeluh Suara Hilang, Begini Jawaban Bawaslu
Pada sisi lain, penggunaan media sosial dan hp android untuk mengakses Sirekap sangat massive di kalangan pemilih (konstituen). Sehingga memungkinkan potongan-potongan data yang tidak utuh di jadikan dasar untuk klaim kemenangan, tuduhan kecurangan maupun pelanggaran pemilu.
“Hal ini tak bisa dihindari, namun penting bagi KPU/Bawaslu menyampaikan bahwa data ini belum utuh ter-entry seluruhnya,” paparnya.
Dari proses penghitungan suara melalui aplikasi Sirekap Pemilu 2024, sampai hari ini beberapa hal dapat di sampaikan :
Pertama, bahwa kepercayaan publik (trust public) terhadap hasil yang di tayangkan dalam aplikasi Sirekap relatif rendah, berbeda dengan hasil Situng KPU pada pemilu sebelumnya yang relatif di percaya validitas datanya.
BACA JUGA:Ini Penyebab Bawaslu Muratara Belum Bisa Lakukan Hitung Ulang Surat Suara
Baik karena faktor teknis di internal, maupun faktor kepentingan pihak luar/kontestan. Sehingga memang daripada menimbulkan ‘kegaduhan publik’, saling tuduh kecurangan yang akan berakibat pada kondisivitas penyelenggaraan pemilu.
Lebih baik akses terhadap Sirekap di batasi hanya untuk penyelenggara, saksi/LO parpol dengan menggunakan password (batas tertentu).
Kedua, Bahwa legal standing hasil yang di entry dalam Sirekap juga tidak terlalu kuat secara hukum. Artinya, dia menjadi dokumen/alat bukti resmi setelah di verifikasi para pihak - baik penyelenggara, saksi dan Bawaslu - dalam rapat pleno bertingkat, baik di tingkat KPPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPU Provinsi, dan Pusat.
Sehingga memang penting menunggu dokumen hasil pleno manual, dibanding data Sirekap. Apalagi untuk selisih data yang sedikit seperti di tingkat DPRD Kabupaten/Kota atau selisih internal perolehan suara caleg dalam satu parpol.
BACA JUGA:Suaranya Hilang 500, Chekriando Ungkap Dugaan Kecurangan Pileg 2024
Ketiga, pelajaran dari penggunaan aplikasi penghitungan - baik C1 IT, Situng dan Sirekap -, yang masih belum maksimal.