Oleh : Harisman Habibie | Praktisi Hukum dan Dosen Prodi Ilmu Hukum UnivBi Lubuklinggau
KORANLINGGAUPOS.ID - Bangsa Indonesia telah memasuki babak baru dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dimulai dengan berakhirnya masa orde baru dan lahirnya era reformasi, yang berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Dalam era reformasi, salah satu usaha yang dilakukan adalah upaya penegakan hukum. Untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang mendukung upaya penegakan hukum, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah dari berbagai aspek kehidupan.
Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, konflik atau perselisihan atau sengketa yang terjadi pada masyarakat pada umumnya menyangkut hak dan kewajiban yang digolongkan kedalam sengketa perdata.
BACA JUGA:Pemkot – Kejari Lubuklinggau Teken MoU Terkait Masalah Perdata dan TUN
Seiring dengan perkembangan zaman, setiap pola hukum selalu dikembangkan oleh manusia untuk menyelaraskan kebutuhan yang dihadapi tanpa merubah prinsip yang telah ada. Banyak masyarakat yang terlibat di dalam sengketa perdata di Pengadilan memilih jalan mediasi untuk menyelesaikannya baik yang diupayakan oleh hakim, pengacara, ataupun kehendak dari para pihak yang berperkara itu sendiri.
Dalam rangka reformasi birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berorientasi pada visi terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung, salah satu elemen pendukung adalah Mediasi sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Sedangkan Mediator sendiri adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Sertifikat Mediator adalah dokumen yang diterbitkan oleh Mahakamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahakamah Agung yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan sertifikasi Mediasi serta lulus ujian sertifikasi profesi Mediator.
BACA JUGA:Pemkot Lubuklinggau dan Kejari MoU Terkait Masalah Perdata dan TUN
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.
Hadirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2016 tentang Proses Mediasi di Pengadilan secara tegas dimaksudkan untuk memberikan kepastian, keadilan, ketertiban, dan kelancaran proses perdamaian para pihak dalam menyelesaikan sengketa perdata.
Upaya ini dilakukan dengan cara mengintensifkan proses mediasi kedalam prosedur acara perdata di Pengadilan, dengan demikian mediasi menjadi sangat penting dan merupakan bagian yang harus ada dalam proses berperkara dan Hukum Acara Perdata di Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka jenis perkara yang wajib dilakukan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mediasi di Pengadilan menguatkan upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam Hukum Acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg.
BACA JUGA:Setiap Tahun Polres Lubuklinggau Tangani Perkara Penyuka Sesama Jenis, Begini Ciri Pelakunya