SANG MENTARI DI UFUK DARUL ISHLAH
SANG MENTARI DI UFUK DARUL ISHLAH SANG KYAI II - Buya Al Misro, Alumni Pondok Pesantren Al Azhaar, Tahun 2011, Ketua Yayasan dan Pimpinan Pondok Pesantren Misro Arafah Kota Lubuklinggau-KORANLINGGAUPOS.ID-Foto : Dok
Semua santri semakin tertawa lepas di sambut oleh Zawawi sendiri ikut tertawa,
Masya Allah!!! itu suasana yang hanya bisa dirasakan bagi anak yang menempuh pendidikan di pesantren.
Setiap pondok pesantren yang manganut sistem Gontor dan Al-Amien selalu menekankan disiplin pembelajaran yang sangat ketat, wajib berbahasa arab dan inggris, wajib belajar berpidato, wajib berorganinasi kesantrian dan banyak sekali sistem,
yang memberikan dampak positif kepada para santri dan tentunya belajar bertanggung jawab, untuk diri sendiri dan orang lain.
Saya merasakan bahwa Darul Ishlah tanpa sosok Kyai Mansuri Adam, hanyalah ruang kosong tanpa properti, dinding kosong tanpa hiasan gambar, gelas kosong tanpa isi,
maka menjadi santri Kyai Mansuri Adam adalah salah satu kebanggaan bagi saya, karena beliau banyak sekali mengubah pola pandang, pemirikan dan wawasan bagi saya pribadi.
Kedekatan saya dengan beliau tidak diragukan lagi, dan saya yakin saksi sejarah membenarkan itu, terkadang kami berdebat, terkadang kami tertawa,
dan terkadang kami bertengkar, seyogyanya ini tak pantas bagi seorang santri berselisih kepada gurunya, tapi inilah sosok sang kyai, beliau bukan hanya memposisikan diri sebagai kyai atau guru.
Membuktikan bahwa Kyai Mansuri Adam, memiliki pribadi yang belum pernah saya temukan dari seorang guru,
yang siap berdiskusi ilmiah dan mengambil keputusan dari semua pemikiran dan kalangan dalam perjuangan yang tidak sebentar.
Semua peraturan pondok alhamdulillah tidak pernah saya langgar selama 3 (tiga) bulan berstatus santri baru, dan semua para punggawa pesantren mereka semua mengenal nama saya,
karena kegilaan saya kepada dunia buku, dan dunia baca menjadi saksi bisu asrama papan yang berdekatan dengan dapur santri, keahlian saya dalam bidang pidato dan berceremah juga terhendus sampai kepada Kyai Mansuri Adam,
sehingga hubungan kami semakin intens, beliau selalu memberikan arahan cara dalam penyampaian retorika dan menyusun naska pidato.
Disetiap sudut tempat tidak ada waktu tanpa buku dan membaca, sehingga pribadi saya cukup mengasingkan diri dari para kalangan santri yang lain.
Sampai pada waktunya lebih kurang mendekati ujian semester 1 (satu), saya yang dikenal dengan pendiam, kutu buku, dan memiliki keahlian dibidang olahraga badminton bersama adek kelas saya adinda Fauzal Akbar, disanjung dan dipuji oleh para guru, dekat dengan para dewan Mudhoro,