Sedangkan Partai NasDem bersama koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar terdadari PKB dan PKS.
Eka Rahman mengatakan, pertama bahwa sangat lumrah DPP Partai Golkar mengeluarkan surat tugas dan mandat kepada para ketua DPD tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memenangkan pemilu dan sebagai bakal calon dalam pilkada. Karena tentu saja ada kerja-kerja politik yang ‘beririsan’ dan berpengaruh dari pileg dan pilpres terhadap pilkada, setidaknya dalam sosialisasi figur, tim pemenangan, dan sebagainya.
“ Artinya, jika kerja politik dalam pileg positif, dapat di lanjutkan ke tahapan pilkada yang hanya berjarak 7 bulan pada September 2024. Pemberian surat mandat, terutama pada H. Rodi Wijaya (Ketua DPD Golkar Lubuklinggau) dan Hasbi Assadiki (Ketua DPD Golkar Muratara), akan menambah spirit bagi internal Golkar dalam pemenangan di level daerah,” katanya, Kamis 23 November 2023.
Lalu kedua, agak janggal kemudian adalah surat mandat untuk maju dalam Pilkada tidak diberikan juga pada Ketua DPD Golkar Musi Rawas Firdaus Ceolah (FCO). Sepertinya dia mengalami ‘diskriminasi’ di internal Partai Golkar, apalagi sebagai ketua yang berhasil membawa Golkar Mura meraih 7 (tujuh) kursi DPRD Pemilu 2019, bahkan diperlakukan seperti ‘anak tiri’ yang hasil kerja-kerja politiknya di berikan kepada Hj. Ratna Machmud (yang loyalitas ke ‘Golkar’-an tidak 24 karat dalam pemilu, karena suami Ketua Partai Nasdem, Keponakan Caleg PKB).
BACA JUGA:Viral Dugaan Penjabat Daerah Diminta Komitmen Menangkan Pasangan Capres, Trisko : Kami Jelas Netral
Jika dikomparasikan dengan prestasi Golkar Muratara yang hanya peroleh 2 kursi DPRD, tapi Ketua DPD-nya masih mendapat rekomendasi.
Tentu akan menimbulkan pertanyaan serta beragam persepsi publik, ada apa dengan FCO? Apakah kurang loyal? Tidak berprestasi dan seterusnya? Ini tentu harus dijelaskan secara rasional oleh DPP Golkar kepada FCO secara personal, pengurus DPD Golkar Mura, anggota serta simpatisan Golkar.
Karena tentu akan menjadi ‘beban psikologis’ bagi FCO untuk menjelaskan kepada pemilih tentang rasionalisasi keputusan DPP tersebut.
Ketiga, bahwa terkait mandat sebagai bakal calon bupati Mura pada Pilkada 2024 kepada Hj. Ratna Machmud yang suami juga menjabat Ketua DPC Partai Nasdem Mura, padahal arahan Ketum DPP Golkar Airlangga Hartarto terkait koalisi dalam Pilkada kedepan masih menggunakan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari : Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, PSI, Gelora, Garuda.
Hal tersebut dipahami saja sebagai, pertama, bentuk koalisi dalam politik yang sangat cair, artinya kepentingan pada koalisi di tingkat pusat dalam konteks Pilpres sangat berbeda dengan kepentingan di daerah dalam konteks pilkada. Bisa jadi bahkan dalam parpol koalisi KIM ada figur yang akan berkompetisi dalam level sama sebagai bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.
Misalnya, dalam konteks Mura ada Ketua DPC Gerindra Hj. Suwarti yang jika maju sebagai bacabup harus bersaing dengan ‘mandataris pilkada Partai Golkar’ Hj. Ratna Machmud. Bisa jadi H. Rodi Wijaya akan bersaing dengan Hendri Juniansyah dalam Pilkada Kota Lubuklinggau, meski dalam KIM merupakan mitra koalisi.
Kedua, sepertinya, postur koalisi di tingkat pusat bisa jadi tidak akan ‘permanen’ dari pusat sampai ke daerah. Tergantung kepentingan pada masing-2 daerah parpol akan berkoalisi dengan parpol mana, meski berbeda dengan koalisi pilpres. Sejarah Pilpres dan Pilkada yang lalu bisa menjadi bukti dari kecenderungan seperti ini.
Ketiga, kita paham bahwa Partai Golkar di tingkat pusat dan daerah sangat fasih, cerdas dan fleksibel dalam membangun koalisi-koalisi untuk meraih target yang ditetapkan.(sin)