Perpaduan antara karya sastra dan karya jurnalistik itulah jurnalisme sastrawi.
BACA JUGA:Tim Pramuka SDN 6 Lubuk Linggau Bersiap Ikut Even ‘Skala Vada’
BACA JUGA:SDN 47 Lubuk Linggau Terapkan Kurikulum Merdeka
Novelis sekaligus jurnalis asal Kolombia Gabriel García Marquez menggabungkan realisme magis dengan teknik-teknik jurnalistik, sehingga menciptakan apa yang dikenal sebagai ”jurnalisme sastrawi” atau ”literary journalism”.
Menurut dia, jurnalisme adalah profesi terbaik di dunia ini.
Namun Marques sangat percaya bahwa fakta juga harus disampaikan dengan kepekaan dan kecermatan naratif yang hanya dapat ditemukan dalam sastra.
Pandangan serupa disampaikan oleh Ernest Hemingway.
BACA JUGA:Pelajar SMK Yadika Lubuk Linggau Antusias Ikut Ekskul Robotik
BACA JUGA:Upah Guru Honorer Bakal Naik 2025, Segini Nominalnya
Dia meyakini bahwa jurnalisme adalah salah satu bentuk dasar dalam menulis.
Pengalamannya sebagai jurnalis memberinya fondasi yang kuat dalam gaya menulis yang lugas dan sederhana.
Di sisi lain, dia juga mengakui bahwa sastra memberikan kebebasan lebih untuk mengekspresikan emosi dan konteks yang lebih luas, yang pada gilirannya dapat membuat berita atau cerita lebih hidup dan menggugah.
Dia berpandangan demikian karena sebelum menjadi novelis, Hemingway merupakan jurnalis andal.
BACA JUGA:Kenaikan Gaji Guru 2025, Segini Perkiraan Rinciannya dari Golongan I hingga IV
BACA JUGA:Kabar Bahagia, Guru Sertifikasi Naik Gaji dan Tunjangan Profesi 2025, Segini Nominalnya
Di Indonesia, jurnalisme sastrawi mulai dikenal sejak tahun 2000-an.