Opini : Bagaimana Pembelajaran tentang Rasa Takut dalam Kurikulum Pendidikan?

Senin 09 Dec 2024 - 23:16 WIB
Reporter : DONNI PESTALOZI
Editor : SULIS

KORANLINGGAUPOS.ID - Apakah rasa takut itu? Setiap orang mengalami rasa takut dalam berbagai bentuk. Untuk memahami rasa takut dalam diri anda, maka anda harus memahami bahwa anda adalah esensi dari manusia lainnya. Anda bukanlah seseorang dengan nama dan segala bentuk yang melekat pada diri anda.

Anda seperti manusia lainnya di dunia mengalami hal-hal yang sama, mengalami penderitaan, kesedihan, kesepian, frustasi, kurangnya cinta dan kasih sayang, dan kekerasan. Semua pengalaman ini terjadi di seluruh dunia, dialami semua orang. Dengan demikian pahamilah bahwa anda faktanya adalah inti dari seluruh umat manusia.

Dari uraian di atas, maka segala bentuk diskusi atau pembelajaran tentang rasa takut haruslah melingkupi pemaknaan rasa takut secara luas. Hanya saat anda memahami rasa takut global (global fear) yang dialami semua manusia, maka anda akan mampu melihat rasa takut yang lebih kecil dalam diri anda. Namun demikian jika anda hanya memperhatikan rasa takut anda yang kecil, maka anda kehilangan makna rasa takut yang lebih besar. Anda tak memahami esensi rasa takut. 

Untuk memahami rasa takut, pertanyaan yang muncul adalah "apakah kata takut menciptakan ketakutan?" ataukah "takut muncul tanpa kata takut?". Kedua pertanyaan ini sangat penting untuk dipahami agar kita mampu terbebas dari rasa takut (freedom from fear), keterbebasan total secara psikologis dari rasa takut. Jika kita memahami makna keterbebasan psikologis dari rasa takut, maka ketakutan-ketakutan secara biologis akan menemukan maknanya sendiri. 

BACA JUGA:Opini: Tebang Pilih Penegakan Hukum Terhadap Status Darurat Judi Online Di Indonesia

BACA JUGA:Opini: Guru yang Digugu di Era Transformer

Jika terdapat keterbebasan dari rasa takut secara batiniah, maka secara akan muncul aktifitas-aktifitas kecerdasan dalam diri yang mengatakan "lakukan dan jangan lakukan". 

Saat kita mengamati gejolak rasa takut yang kita alami, kita menggunakan kata takut secara instan. Padahal kata tidaklah menjelaskan benda, kata tak sama dengan benda. Saat kita menggunakan kata burung, kata burung tak lah sama dengan kenyataannya. Kata hanyalah mendeskripsikan bendanya, maka kata pada esensinya taklah penting. Dengan demikian muncul pertanyaan "apakah kata takut adalah aktualita? Ataukah aktualita rakit takut itu ada tanpa kata? Pertanyaan ini sangatlah penting untuk dipahami karena kita (manusia) sering terjebak dalam rangkaian kata-kata yang selalu mendistorsi fakta. 

Kata, simbol, dan makna-maknanya sangatlah penting dalam konteks relasi kehidupan sebagai alat komunikasi, pengembangan keterampilan dan kecakapan hidup untuk keberlangsungan. Namun demikian sangatlah penting agar kita mampu memisahkan secara psikologis antara kata dan benda (aktualita) agar tak terjadi justifikasi, praduga, dan evaluasi yang mengubah makna sebenarnya. Maka sama halnya dengan rasa takut, apakah kata takut sama dengan rasa takut itu sendiri? Ataukah kata takut dan rasa takut adalah dua hal yang terpisah? 

Setiap manusia terjebak dalam rasa takut, takut akan hari esok, takut akan ketidakberuntungan hari yang telah lalu, takut akan rasa bersalah apa yang telah dan belum lakukan, takut akan apa yang ia harapkan lakukan namun tak mampu dilakukan, dan juga ketakutan tentang kesuksesan dan kegagalan. Rasa takut ini terus-menerus meliputi diri kita secara psikologis dan telah mengakar selama berjuta-juta tahun. Kita tak mampu mengatasinya, melakukan tindakan mengatasi dengan menunda dan melakukan penghindaran. 

BACA JUGA:Opini: Kritik Sastra Mati: Autopsi atau Autoimun?

BACA JUGA:Opini: Sastra di Era Milenial

Bisakah kita memisahkan kata dan perasaan? Ataukah kata telah menciptakan rasa? Ataukah tanpa kata mungkin tak ada rasa? Dan jika memang ada rasa, maka rasa itu apa? 

Tanpa kata, rasa adalah sensasi. Sensasi adalah kealamiahan, kondisi yang menandakan kenormalan dan kesehatan. Maka rasa takut sebagai bentuk sensasi adalah kealamiahan. Jika sensasi itu diintervensi oleh kata, yang menggambarkan pergerakan pikiran, maka sensasi itu betul-betul menjadi rasa takut yang mengalir di seluruh aliran darah. Tak ada ketakutan saat rasa itu hanyalah sebatas sensasi.

Demikian kiranya kita tak selalu mengasosiasikan kata dengan benda untuk memahami suatu kebenaran. Dengan begitu kita akan terbebas dari rasa takut dalam segala bentuk kehidupan. Memahami rasa tukut yang kita alami haruslah meliputi pemahaman rasa takut seluruh umat manusia agar kita tidak terjebak dalam keegoisan. Kita tidak akan terjebak memikirkan isi kantong sendiri jika kita memahami bahwa orang lain di sekitar kita juga mengalami ketakutan yang sama tentang isi kantong. Sekian semoga bermanfaat. ( Dr. Donni Pestalozi, M.Pd merupakan Dosen Universitas PGRI Silampari).

Kategori :