LUBUKLINGGAU, KORANLINGGAUPOS.ID - Belakangan kerap terdengar kabar perempuan bersuami berbuat serong dengan laki-laki lain alias selingkuh. Bahkan, tak jarang yang sampai berbuat di luar batas.
Bagaimana jika dari pergaulan terlarang itu, si istri sampai hamil dan melahirkan anak? Kepada siapa anak itu dinasabkan?
Dikutip KORANLINGGAUPOS.ID dari laman Kemenag RI, pada salah satu kitabnya, Imam an-Nawawi ulama madzhab Syafi’i telah menjelaskannya.
Jika ada seorang perempuan bersuami, kemudian hamil yang mungkin pula disebabkan oleh laki-laki selain suaminya, maka ketika anak itu lahir dinasabkan kepada suaminya.
Artinya, “Jika ada dua orang laki-laki (suami sah dan selingkuhan istri) yang bersama-sama menggaulinya (istri tersebut) dalam keadaan suci, kemudian si istri hamil (dan melahirkan) anak yang dimungkinkan anak itu berasal salah satu dari kedua laki-laki tadi, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami sahnya, sebab ada hadis, ‘Anak itu milik si empunya ranjang,’ (HR. al-Bukhari-Muslim).” (Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz XVII/410).
BACA JUGA:Orang Tua wajib Baca, 5 Manfaat Bagi Anak yang Aktif Ikut Eksktrakurikuler
Pendapat di atas juga sejalan dengan pendapat al-Qalyubi. Disampaikannya, seorang perempuan yang sudah menikah alias sudah bersuami, kemudian hamil dan melahirkan, maka anaknya itu milik suaminya.
Artinya, “Jika si perempuan bersuami, (kemudian melahirkan anak), maka anak itu milik suaminya,” (Lihat: Hasyiyat Qalyubu wa ‘Umairah, juz III/17).
Hal itu berlaku untuk istri yang bersuami. Berbeda halnya jika si perempuan lajang atau sudah lama tak bersuami, kemudian hamil oleh seorang laki-laki, maka nasab anaknya kepada dirinya sendiri alias kepada ibu.
Berbeda pula jika seorang perempuan tak bersuami hamil, baik perawan maupun janda, kemudian menikah, dan usia pernikahannya sama dengan usia minimal kehamilan, yaitu enam bulan, maka anak tersebut bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya. Demikian seperti yang diungkap oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi.
BACA JUGA:76 Anak di Lubuklinggau Korban Kekerasan Seksual, Modus Pelaku Beragam Termasuk Tawaran Nikah
Artinya, “Jika seorang perempuan menikah, sementara dirinya dan laki-laki yang menikahinya termasuk orang yang sudah mampu memberi keturunan, juga tidak ada laki-laki lain yang menyertai laki-laki tersebut dalam mencampuri si perempuan tadi, baik secara syubhat maupun selain syubhat, hingga lahirlah seorang anak dengan usia kehamilan enam bulan atau lebih, maka dinasabkanlah anak itu kepada si laki-laki yang menikahinya tadi, dan tidak boleh si laki-laki menolaknya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, juz II/121).
Adapun yang menjadi landasan usia minimal kehamilan selama enam bulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, adalah firman Allah dalam Al-Quran, “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan,” (QS. al-Ahqaf [46]: 15). (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz XVI/74).
Penjelasannya, usia kehamilan dan usia menyapih adalah tiga puluh bulan, sementara usia menyapih adalah dua tahun, sehingga kehamilan minimal adalah selama enam bulan.
Berbeda lagi jika kehamilannya kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkan oleh si perempuan tadi, walaupun ada yang menikah, tetap tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya.