Opini: Kritik Sastra Mati: Autopsi atau Autoimun?
Elif Nashikhatul Maziyah-Foto: Dokumen Pribadi-
KORANLINGGAUPOS.ID-Kritik sastra, sebagai disiplin yang mempelajari dan mengevaluasi karya sastra, sering kali dipandang seolah sedang berada di ambang kematian.
Banyak kalangan berargumen bahwa kritik sastra tidak lagi relevan dalam era digital yang dipenuhi informasi instan dan konten yang cepat berlalu.
Namun, pandangan ini perlu ditelusuri lebih dalam.
Apakah kritik sastra benar-benar "mati," atau justru mengalami transformasi yang menciptakan bentuk baru dari pemikiran kritis?
BACA JUGA:Opini: Sastra di Era Milenial
BACA JUGA:Opini: Sastra dan Jurnalisme Sastrawi
Dalam analisis ini, kita akan mengeksplorasi dua perspektif yang saling bertentangan: autopsi, yang mengacu pada penggalian penyebab kematian kritik sastra, dan autoimun, yang menunjukkan bahwa kritik sastra mungkin sedang berjuang melawan ancaman dari dalam dirinya sendiri.
Salah satu data terbaru menunjukkan bahwa pembaca buku semakin berkurang, terutama di kalangan generasi muda.
Menurut laporan Pew Research Center pada 2021, hanya 23% remaja yang membaca buku fiksi secara teratur.
Ini menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya.
BACA JUGA:Peran Sastra dalam Kehidupan Sehari-hari
BACA JUGA:Mengolah Sastra dengan Diksi dan Kalimat untuk Memikat Hati Rakyat
Dengan pertumbuhan media sosial dan platform streaming, banyak orang lebih memilih konten visual yang cepat dan mudah dicerna.
Data dari Statista juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, waktu yang dihabiskan pengguna di media sosial telah meningkat menjadi lebih dari 2,5 jam per hari.