Opini: Kritik Sastra Mati: Autopsi atau Autoimun?
Elif Nashikhatul Maziyah-Foto: Dokumen Pribadi-
Dalam konteks ini, kritik sastra yang konvensional terlihat kaku dan tidak mampu bersaing.
Dalam sebuah dunia di mana kecepatan menjadi kunci, tulisan kritis yang mendalam dan reflektif tampak kehilangan daya tariknya.
BACA JUGA:Ada 9 Negara Ternyata Belajar Bahasa Indonesia Juga, Ini Daftar Nama Negaranya
BACA JUGA:SMAN 4 Lubuk Linggau Gelar Karya P5 dan Peringatan Bulan Bahasa
Autopsi kritik sastra yang dianggap mati sering kali mengarah pada analisis mendalam tentang faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi penurunan ketertarikan terhadap sastra.
Salah satu penyebab utama adalah munculnya media baru yang menyajikan narasi dengan cara yang lebih menarik dan interaktif.
Di sini, kritik sastra harus dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak audiens kini lebih memilih komentar singkat dan ulasan yang mudah dicerna, sering kali tanpa mendalami makna yang lebih dalam.
Akibatnya, karya sastra yang seharusnya mendapat perhatian dan analisis mendalam justru terpinggirkan.
BACA JUGA:Guru SDN 58 Lubuk Linggau Ungkap Tantangan jadi Guru Bahasa Inggris Era Digital
BACA JUGA:7 Universitas Top Dunia yang Punya Kelas Bahasa Indonesia, Adakah Pilihanmu?
Namun, menganggap kritik sastra sebagai "mati" tidak sepenuhnya akurat.
Justru, kritik sastra mungkin sedang mengalami fase autoimun, di mana ia berjuang melawan tantangan yang muncul dari dalam.
Dalam era informasi yang melimpah, kita dihadapkan pada fenomena informasi yang saling bertentangan, yang dapat membingungkan pembaca.
Menurut penelitian oleh MIT, 80% orang dewasa merasa kesulitan untuk membedakan antara informasi yang akurat dan yang tidak.
BACA JUGA:Nonton Anime Subtitle Bahasa Indonesia Terbaik 2024, Bisa Coba di 7 Situs Berikut ini