Opini: Kritik Sastra Mati: Autopsi atau Autoimun?
Elif Nashikhatul Maziyah-Foto: Dokumen Pribadi-
BACA JUGA:6 Cara Membuat Nama Kelas Keren dan Terbaik 2024 dari Bahasa di Seluruh Dunia, Buruan Coba!
Banyak orang kini lebih cenderung mencari validasi daripada analisis mendalam.
Dalam situasi ini, kritik sastra yang seharusnya berfungsi sebagai panduan untuk memahami teks justru dapat tersisih.
Pergeseran ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: Apa tujuan dari kritik sastra itu sendiri?
Kritik sastra harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, memperluas cakupannya untuk mencakup berbagai medium dan bentuk ekspresi.
BACA JUGA:Inilah 5 yang Diperoleh Anak Ketika Belajar Bahasa Asing Sejak Dini
BACA JUGA:Top 5 Rekomendasi Buku Bahasa Inggris yang Cocok Buat Pemula dan Mudah Dimengerti
Di tengah kecenderungan masyarakat yang semakin terbiasa dengan konten singkat dan cepat, kritik sastra dapat menemukan ruangnya dengan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan inovatif.
Misalnya, penggunaan podcast, vlog, dan media sosial untuk menyampaikan analisis karya sastra dapat menjadi alternatif yang menarik.
Beberapa kritikus sudah mulai menggunakan platform-platform ini untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan menghidupkan kembali diskusi tentang sastra.
Akibat dari perubahan ini, ada dua dampak yang signifikan.
BACA JUGA:SGI, British Council dan MGMP Bahasa Inggris Muratara Gelar Nusantara Ready
BACA JUGA:Pahami Ini 5 Bahasa Tubuh Yang Menunjukkan Seseorang Sedang Tidak Percaya Diri
Pertama, pemisahan antara kritik sastra yang tradisional dan kritik yang lebih modern dapat menyebabkan kebingungan di kalangan pembaca.
Mereka yang terlatih dalam membaca karya sastra mungkin merasa terasing oleh format baru yang mereka anggap dangkal.