mata saya tetap fokus melihat gerakan ribuan lebah itu semakin merapatkan barisan, bergantung seperti untaian janggut yang melekat pada wajah yang membuat ketampanan dan wibawa semakin berkarisma,
kemudian lamunan dan halusinasi itu menghilang saat terdengar suara laki-laki berkulit hitam dan bersuara cempreng mengejutkan dan menepuk pundakku, dia tidak lain sahabatku bernama Purwanto yang rumahnya juga tidak jauh dari tepian hutan sungai Musi.
Sesampainya dirumah saya membicarakan perihal saya kepada orang tua, untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Darul Ishlah atas perintah dan saran dari kepala sekolah Pak Syaukani, orang tua saya menjawab agar saya mengurus semuanya sendiri,
begitulah cara Abah dan Amak saya mengajarkan saya untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab, tidak terlalu banyak drama dan sandiwara seperti anak zaman kini, untuk mondok di Pesantren harus begini dan begitu, sehingga sampai pada waktunya di tahun 2007,
saya menapakkan kaki di halaman Pondok Pesantren tercatat sebagai santri baru, karena pendaftaran dan administrasi sudah diurus semua oleh kepala sekolah dengan memerintahkan guru matematika kami Pak Andi, kebetulan beliau berdomisili di Lubuk Senalang Kenanga Lintas Kota Lubuk Linggau,
sehingga semua administrasi saya semuanya sudah diurus oleh Pak Andi, atas perintah Pak Syaukani selaku kepala sekolah saya waktu di MTs Muara kelingi.
Berdiri di halaman depan pesantren dengan tangan kanan memegang gulungan tikar untuk tidur, dan tangan kiri memegang tas pakaian berwarna coklat, dan bergantung di pundak belakang tas ransel keramat warisan dari Kakek Saya, yang katanya beliau beli dari pasar Kayu Agung saat beliau bekerja sebagai Distributor bibit sawit dari PT Lonsum Musi Rawas, dengan setelan rambut kelimis karena sebelum berangkat saya memakai minyak rambut andalan Abah, yaitu Minyak Tanco Berwarna hijau, saya rasa penampilan saya sudah cukup ganteng maksimal.
Langsung kedatangan para santri baru disambut oleh kakak-kakak senior yang sapaan akrabnya “Muallim”, dengan tangan kekar hitam dan pakaian rapi,
saya mendengar orang memanggilnya Muallim Lepri atau nama lengkapnya Selamet Tolepri, bergegas beliau mengambil tas saya dan gulungan tikar mengantarkan saya kekamar santri dan membantu untuk menata pakaian dilemari.
“Waktu Sholat Subuh Berjama’ah Pertama Di Pesantren Darul Ishlah Pandangan Kembali kepada lebah Bergantung Di Pinggiran Hutan Sungai Musi”.
Masuk ke Pesantren Darul Ishlah saya tidak melihat brosur, dan tidak pula melihat iklan-iklan yang biasanya dijadikan patokan untuk menentukan sekolah pilihan terbaik,
saya hanya mengikuti saran dan perintah Pak Syaukani karena beliau adalah guru yang sudah pasti tahu pendidikan terbaik untuk muridnya, sehingga saya tidak tahu dengan wajah pimpinan dan prestasi yang hebat dari Pondok Darul Ishlah, intinya masuk ke Darul Ishlah sami’na wa atho’na dengan guru saya Pak Syaukani,
setelah ditelusuri sanadnya ternyata guru saya ini bersahabat baik dengan Kyai Mansuri Adam, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ishlah, dan pada saat yang bersamaan guru saya Pak Syaukani sudah menitipkan saya dengan sahabat beliau untuk diberikan pendidikan dengan baik, sesuai dengan bakat dan potensi saya dalam bidang pidato dan olahraga badminton.
Sholat subuh berjama’ah hari pertama kami para santri baru langsung diimami oleh Pimpinan Pondok KH. Mansuri Adam,
sikapnya yang berwibawa, dengan janggut dan berewoknya yang tebal menambah karisma yang begitu luar biasa pada suasana subuh hari itu, begitu khusyuk suasana para santri saat diimam oleh beliau, dengan surat Al-Ghosiyyah dirakaat pertama kemudian dilanjutkan dengan surat Al-A’la pada rakaat kedua, setelah sholat subuh selesai,
Kyai Mansuri Adam Berdiri dimimbar yang sangat sederhana, dengan wibawahnya yang sangat menakjubkan, janggut lebat yang teruntai laksana barisan lebah yang melekat pada pohon yang kokoh dan siap menebarkan manisnya kepada semesta alam,