saat beliau menyampaikan tausiyahnya saya dan sahabat saya Zabursa, Musthofa, dan Karlin duduk dibarisan paling depan, tepat dihadapan beliau berdiri, kami berempat takjub melihat paras wajah Kyai Mansuri dengan janggutnya yang tebal, melemparkan ingatan saya pada lebah yang bertengger pada pohon yang rindang dipingiran hutan sungai Musi dikampung saya,
ternyata masalah lebah itu justru menginspirasi saya untuk mengambarkan sosok Kyai yang sangat karismatik ini, ucapannya yang lugas dan tegas, laksana madu yang ditengguk oleh kami para santri seakan menjadi obat akan kebodohan yang kami pelihara,
sebelum kami menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ishlah, Prinsipnya yang kuat dan mental perjuangannya yang dahsyat, seakan seekor lebah yang siap melawan siapa saja yang mengganggu ideologinya,
untuk memajukan lembaga pendidikan Darul Ishlah yang beliau pimpin, duduknya seperti ketenangan lebah yang menjaga sarangnya, dari tangan asing yang dapat merusak obat yang sedang beliau siapkan untuk menyembuhkan penyakit kemalasan, kebodohan, keterbelakangan, keawaman, dan kelalaian kami para santri yang sedang berjuang pada masa itu.
Dalam nasihat pertama yang saya dengar dari beliau diwaktu subuh itu, beliau bertanya dengan kami, Sekolah mana yang paling bagus menurut kalian???
Para santri menjawab dengan versinya masing-masing, ada santri yang menjawab Darul Ishlah, ada juga yang menjawab Gontor Ponorogo, ada juga sebagian menjawab Al-Amien Perenduan, karena hampir semua guru-guru keren di Darul Ishah pada masa itu adalah alumni Gontor dan Al-Amien,
Termasuk Kyai Mansuri Adam sendiri alumi Al-amien, Kyai Agus Salim Alumni Gontor, Kyai Zuhri Alumni Al-amien, dan Kyai Herwansyah Juga berkiblat kepada manhaj Gontor, Kyai Nasution Juga mengikuti metode pendidikan Gontor dan Al-amien, dan kelima nama tadi, disebut dengan “Kibarul Astatidz atau Para Mudhoro Darul Ishla”, ternyata jawaban kami semuanya disalahkan oleh Kyai Mansuri Adam.
Salah Anak Ku !!!...
Sekolah yang terbaik itu adalah sekolah dan pendidikan yang berangkat dari rumah kalian masing-masing, kalian sebagai santrinya, ayah dan ibu kalian sebagai Gurunya, kakek dan nenek kalian sebagai ketua yayasannya, pelajaranya adalah adab dan akhlak, ilmunya bermanfaat didunia dan akhirat, masa sekolahnya sepanjang hayat, tamatnya saat nyawa tidak lagi melekat didalam jasad.
Kemudian Kyai Mansuri Adam melanjutkan fatwanya, rumah kalian adalah Madarosatul Uwla”, Pendidikan pertama adalah rumah kalian untuk membentuk karekter, yang diteladani oleh orang tua kalian semuanya. Maka dari pada itu Ayah dan Ibu kalian menitipkan pendidikan ke Pondok Pesantren Darul Ishlah,
untuk melanjutkan pengetahuan dan wawasan agar kalian menjadi manusia yang bermanfaat dan membawa perubahan dikampung halaman setelah menyelesaikan pendidikan dan pengajaran di Darul Ishlah, karena Ayah dan Ibu kalian tahu bahwa Darul Islah memiliki arti “Bengkel Perbaikan” Memperbaiki semua yang rusak dalam diri kalian, mulai dari rusaknya mental, spritual terlebih moral dan keperibadian.
Begitulah wejangan pertama yang saya terima saat berjumpa pertama dengan Kyai Mansuri Adam, sebagai santri baru di Pondok Pesantren, kecintaan itu mulai muncul dan berubah menjadi kagum, dan saya berkata dengan tiga teman saya, Zabursa yang berasal dari Trans Sp 6 Kelingi, Mustopa dari Desa Lesung Batu Rawas Ulu, Karlin Dari Desa Karangdapo,
apa yang kita dengar dari Kyai tadi mesti menjadi pegangan bahwa kita datang ke Darul Islah untuk membawa diri kita kepada ke Bengkel Perbaikan.
Setelah Kyai Mansuri Adam menutup taujihnya dengan salam, lalu kami bergegas mengambil tangan beliau sekedar untuk mengambil keberkahan dari sang inspirator ulung, dengan berbagai macam prestasi yang sudah beliau torehkan semasa hidupnya, sebagai seorang kyai, sebagai seniman, sebagai diplomat, dan sebagai ahli ekonomi.
Dalam genggaman tangan beliau yang kekar dan keras, saya mencium tangannya dan sedikit menatap wajahnya, karena terkesima dengan janggut dan berewoknya yang rapi, seperti diawal kisah yang saya katakan, Melekat laksana Lebah Bergantung dan Terlepas Laksana Pedang Yang Terhunus’.
Artinya : “Senyumannya menebarkan manis orang yang melihat dan tatapannya tajam laksana sang pemburu, yang menatap masa depan yang cerah, tampa ada keraguan untuk terus berkembang, berbuat kebaikan menjadi yang terbaik dari setiap kondisi dan situasi apapun”.