"MARI MENULIS UNTUK SANG KYAI" SANG PELOPOR BUKAN PENGEKOR AGENT OF CHANGE (Chapter 3)
(Oleh: Buya Al Misro, Alumni Pondok Pesantren Al Azhaar, Tahun 2011, Ketua Yayasan dan Pimpinan Pondok Pesantren Misro Arafah Kota Lubuklinggau)
Budaya kehidupan pesantren sarat akan makna, sehingga menjadi rahasia hikmah yang sulit untuk difahami dan dimengerti, saya pribadi ketika nyantri di pondok pesantren pada masa itu, selalu teringat dan terkenang akan proses pembelajaran dalam bidang ilmu tarbiyah yang diprakasai oleh Ustad.
Herwansya Syamsiar, beliau merupakan salah satu tokoh guru idola, dari kalangan dewan guru besar dipondok pesantren Darul Ishlah, guru saya ini seringkali menegaskan kepada para santri, untuk tidak bersikap Ataklid yang artinya mengikuti sesuatu perkara yang tidak didasari dengan ilmu pengatahuaan,
dengan kata lain menjadikan sikap dan kepribadian, yang terbawa arus peradaban yang tidak bermuara, atau lebih sederhananya bersikap Ikut-ikutan kepada sesuatu yang tidak mendasar.
Beriringnya waktu saya mulai memahami apa yang diinginkan oleh Ustad Herwansyah, beliau tidak ingin kami para santri, menjadi manusia yang tidak produktif, tidak mau bergerak, pasif, mejadi pasukan kumaha juragan wae, menjadi mental yang terjajah oleh kebodohan,
santri tidak mau berpikir dalam menghadapi tantangan peradaban, yang semakin bergeser kepada perkara-perkara negatif, sehingga generasi santri tertinggal ditengah maraknya kemajuan dan kecanggihan di era globalisasi.
Dengan metode pembelajaran ilmu tarbiyah yang diajarkan Ustad. Herwansyah, membuat akal serta hati nurani seakan digoncang !!!
Untuk menjadikan pribadi para santri sebagai Mundzirul Qoum yang artinya membawa peringatan kepada umat, disaat umat tergelincir kepada kesesatan dan kebodohan serta ikut-ikutan kepada budaya jahiliyah di peradaban modern.
Jika kehidupan santri sudah dibekali dengan nilai-nilai perjuangan dari guru dan dewan asatidz, tentu jiwa mereka sudah terlatih dalam menghadapi gelombang kehidupan, santri biasa tidur dilantai tanpa alas tikar, santri terbiasa mandi dengan air yang seadanya, santri terbiasa makan dengan sayur yang sederhana,
dan yang pasti santri terbiasa hidup mandiri, tanpa disadari semua itu adalah praktek ilmu tarbiyah yang diajarkan oleh Ustad. Herwansyah, yang mana beliau mengajarkan satu qo’idah “Attarbiyyatu Awsi’u da’irohtu minat’talim”. Yang artinya pendidikan itu lebih luas dari pengajaran.
Semua aspek yang terjadi dikehidupan pesantren adalah pendidikan, dulu saya bingung kami para santri diberikan jadwal bergilir untuk piket malam, menjaga keamanan lingkungan pesantren, sempat saya berpikir apa pondok tidak sanggup bayar security sampai harus mengorbankan santri untuk piket malam,
seakan pihak pengurus pesantren mengambil kemanfatan dari tenaga para santri untuk dijadikan boneka, yang semau-maunya diatur oleh sang dalang atas nama kekuasaan dan kebijakan, itulah pola pikir dan pandangan orang yang tidak pernah merasakan pendidikan pesantren,
mereka berpikir sikap pesantren lebih kepada penyiksaan, perbudakan, perpeloncoan, dan pembullyan, tapi terkadang sudut pandang subjektif seperti itu akan menjerat kaki generasi bangsa kepada mental yang lemah, karena terlampau dimanjakan dengan kasih sayang yang salah kaprah,
tidak semua kebutuhan anak mesti kita penuhi, karena jika sebilah pisau kita kasih kepada anak yang belum mengerti akan kemanfaatan pisau, pada waktunya pisau itu akan menyembelih lehernya bahkan menyembelih leher orang tuanya.