KORANLINGGAUPOS.ID- Indonesia, dengan mayoritas penduduk Muslim, sering kali menjadi arena diskusi mengenai status hukum pajak dalam Islam.
Isu ini tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum syariah (fiqh), tetapi juga etika dan prinsip keadilan sosial. Apakah pajak haram, atau justru dibolehkan dalam Islam?
Dalam Islam, konsep pajak dapat dikaitkan dengan jizyah, yaitu pajak yang dikenakan kepada non-Muslim sebagai bentuk kontribusi kepada negara Islam.
Hal ini dijelaskan dalam literatur klasik Islam, seperti karya Muhammad Kamil Hasan Al-Mahami.
BACA JUGA:Munculnya Halal dan Haram Pajak? Bukan Soal PPN 12 Persen
BACA JUGA:PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai 2025, Ini Daftar Lengkap Barang dan Jasa yang Bebas Pajak
Namun, berbeda dengan jizyah, pajak dalam konteks modern lebih umum dan diberlakukan kepada semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk mendukung kebutuhan publik.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib yang bersifat memaksa dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, pajak memiliki fungsi yang serupa dengan zakat, yaitu memberikan manfaat kepada masyarakat luas.
Pajak dan Prinsip Syariah
Secara eksplisit, Islam tidak menyebut pajak sebagai sumber penerimaan negara.
BACA JUGA:24.527 Mobil di Lubuk Linggau Nunggak Pajak, Pemutihan Masih Berlaku Hingga 14 Desember
BACA JUGA:PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai 2025, Ini Daftar Lengkap Barang dan Jasa yang Bebas Pajak
Fokus utama Islam adalah pada zakat, sedekah, dan wakaf, yang secara spesifik diatur untuk tujuan kesejahteraan sosial.
Namun, jika dana zakat tidak mencukupi untuk kebutuhan negara, ulama membolehkan pengenaan pajak sebagai kewajiban tambahan.
Contoh penerapan pajak dalam sejarah Islam adalah pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Yusuf bin Tasyfin di Andalusia, ketika pajak sementara diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak.